Postingan

Menampilkan postingan dari 2011

Konsep Pelestarian Bangunan Kuno

Adaptasi bangunan       : Bagian dari konservasi yang berupa perubahan kecil bangunan atau tempat agar dapat digunakan untuk fungsi baru yang lebih diperlukan. Bangunan                     : Yaitu wujud fisik hasil pekerjaan kontruksi yang menyatu dengan tempat dan kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas tanah atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya. Kawasan historis          : Merupakan embrio pertumbuhan kota, yang digolongkan sebagi kawasan historis di Semarang adalah kawasan Kota Lama, Kampung Melayu, Pecinan, Kauman, Kulitan, dan Kawasan Gedung Batu.   Konservasi                    : Upaya memelihara, mengembalikan, dan meningkatkan wujud serta fungsi suatu kawasan, situs, obyek, bangunan, atau tempat dengan mempertahankan nilai historisnya. Kota Benteng                : Kota Lama yang dahulu merupakan bekas kota Belanda yang dibatasi oleh benteng de Vijfhoek . Lansekap                       : Penataan kawasan melalui

TERBENTUKNYA PROPINSI JAWA TENGAH

Gambar
Ringkasan Buku Dr. Dewi Yuliati, M.A Secara geografis dan ekonomis wilayah Jawa Tengah, terutama Semarang,   menjadi pusat jaringan jalan darat yang menghubungkan bagian barat dengan bagian timur Pulau Jawa, serta daerah pantai utara dengan daerah pedalaman. Beberapa jalan di Jawa Tengah sudah sangat tua, contohnya: jalan besar dari Semarang ke kerajaan-kerajaan dan keresidenan Kedu telah ada sejak awal abad ke-17, dan mungkin juga sebelum itu. [1]   Menurut catatan Rijklof Van Goens, seorang utusan gubernur jenderal Belanda di Batavia ke Mataram, ada tiga jalan utama dari Mataram ke pesisir utara, yaitu: pertama, jalan dari Mataram (berpusat di Pleret) menuju ke Semarang, yang merupakan rute termudah dan tercepat untuk sampai ke pintu gerbang tol di Taji; ke dua, jalan menuju ke arah Tegal, merupakan jalan yang sulit untuk sampai di pintu gerbang di Trayem; ke tiga, jalan menuju ke arah pintu gerbang tol di Bongor. Dalam perjalanannya dari Semarang ke Mataram, Rijklof Van

Monumenten Ordonnantie 1931 (Stbl. No. 238 Tahun 1931)

Teori Kolonial di Indonesia secara umum sebenarnya telah menjelaskan bahwa semua kota-kota kolonial memiliki persamaan, yakni fakta bahwa mereka terbagi menjadi dua bagian, bagian yang berasal dari penduduk/budaya lokal & bagian yang merupakan hasil dari cipta karya/budaya pendatang/ orang asing, karena proses dari imposisi kota yang mereka hasilkan. Oposisi antara belahan campuran dan asing ini berakar pada sifat komunitas kolonial yang menekan dan karena hal ini, kota-kota kolonial sering kali dikarakterisasikan sebagai duality atau kota ganda. Di Indonesia kondisi kota-kota kolonial justru jauh lebih kompleks selain karena bagian lokal yang bergaya barat, terdapat juga bagian asing yang bergaya oriental, terutama Cina. Oleh karena itu, kota-kota di Indonesia pada era kolonial bisa dikarakterisasikan sebagai kota tiga bagian dengan muatan arsitektur lokal berupa Kraton & Kampung, bagian cina yang terdiri dari ruko-ruko, dan satu bagian yang bergaya Barat yang tersusun ata