TERBENTUKNYA PROPINSI JAWA TENGAH


Ringkasan Buku Dr. Dewi Yuliati, M.A

Secara geografis dan ekonomis wilayah Jawa Tengah, terutama Semarang,  menjadi pusat jaringan jalan darat yang menghubungkan bagian barat dengan bagian timur Pulau Jawa, serta daerah pantai utara dengan daerah pedalaman. Beberapa jalan di Jawa Tengah sudah sangat tua, contohnya: jalan besar dari Semarang ke kerajaan-kerajaan dan keresidenan Kedu telah ada sejak awal abad ke-17, dan mungkin juga sebelum itu.[1] 

Menurut catatan Rijklof Van Goens, seorang utusan gubernur jenderal Belanda di Batavia ke Mataram, ada tiga jalan utama dari Mataram ke pesisir utara, yaitu: pertama, jalan dari Mataram (berpusat di Pleret) menuju ke Semarang, yang merupakan rute termudah dan tercepat untuk sampai ke pintu gerbang tol di Taji; ke dua, jalan menuju ke arah Tegal, merupakan jalan yang sulit untuk sampai di pintu gerbang di Trayem; ke tiga, jalan menuju ke arah pintu gerbang tol di Bongor. Dalam perjalanannya dari Semarang ke Mataram, Rijklof Van Goens menggambarkan beberapa tempat penting yang dilewatinya yakni Semarang, Jatingaleh, Pudak Payung, Tengaran, Ampel, Ngambah, Bayalali, Slembi (pintu gerbang tol), Mlandingan, Gondangwinangun, Taji (pintu gerbang tol), dan Pleret (ibukota Mataram). Jalan-jalan itu juga digambarkan oleh Pieter Fransen pada tahun 1630, oleh Valentijn pada tahun 1726, dan oleh Van Imhoff pada tahun 1746.[2]

Di Sepanjang pesisir utara Jawa terdapat groote postweg (jalan raya) yang membentang dari Anyer di bagian barat sampai Panarukan di bagian timur Pulau Jawa. Pembangunan jalan raya ini diprakarsai oleh Daendels, yang menjabat gubernur jenderal Hindia Belanda dalam periode 1808-1811. Dari jalan raya ini terdapat beberapa jalan kecil atau jalan yang menuju daerah pedalaman.[1]

Selain dilalui oleh jalan raya yang menghubungkan antara bagian barat dan timur Pulau Jawa, Jawa Tengah juga menjadi pusat jaringan jalan kereta api yang dibangun  sejak akhir tahun 1860-an. Peletakan jalan kereta api dilakukan pertama kali di Jawa Tengah, dengan pusatnya di Semarang, pada tahun 1867. Rute yang dibuka pertama kali yaitu rute dari Semarang ke daerah-daerah kerajaan di pedalaman. Kemudian pembangunan jalan kereta api diperluas ke seluruh Jawa.[2] Peletakan jalan kereta api dari Semarang ke daerah-daerah kerajaan dan Kedu menjadi prioritas utama, karena daerah-daerah itu dipandang sebagai tempat-tempat yang berpenduduk padat dan menghasilkan produk-produk pertanian yang penting seperti gula, nila, dan kopi. Meskipun demikian, sarana transportasi yang tersedia pada saat itu hanyalah angkutan gerobag dengan ongkos pengangkutan yang mahal dan waktu perjalanan yang lama. Selain untuk mempermudah pengangkutan produk-produk dari daerah pedalaman ke pantai utara, kereta api juga diperlukan untuk memperlancar pengangkutan barang-barang import dari pelabuhan Semarang ke daerah-daerah di  pedalaman. Sebelum dibangun jalan kereta api, pengangkutan produk-produk dari daerah pedalaman ke pelabuhan dan sebaliknya sangat terhambat oleh daerah perbukitan yang memisahkan antara kedua daerah itu. Selain terhambat oleh faktor geografis, pengangkutan produk-produk tersebut juga diperberat oleh ongkos yang semakin mahal. Ongkos pengangkutan dengan gerobag dari Surakarta ke Semarang pada tahun 1885 adalah f. 17 untuk 6 pikul (370 kg.), pada tahun 1860 menjadi f. 28, dan pada tahun 1861 menjadi f. 30.[3] 

Selain menjadi pusat jaringan jalan darat, Jawa Tengah juga memiliki prasarana jalan laut, yang berpusat di pelabuhan Semarang, yang sejak abad ke-17 telah menarik keinginan kompeni dagang Belanda (Vereenigde Oost Indische Compagnie / VOC) untuk menguasainya. Keinginan kompeni itu untuk menguasai pelabuhan Semarang tidak terlepas dari potensi positif wilayah pedalamannya, yang menghasilkan produk-produk pertanian yang laku untuk dijual baik dalam perdagangan lokal, antarpulau, maupun internasional. Pelabuhan Semarang sangat berperan sebagai pintu gerbang bagi kegiatan eksport-import produk-produk dari daerah pedalaman seperti gula, kopi, nila, kapok, dan sebagainya.  Seorang musafir Cina, Ong Tai Hae, yang pernah berkunjung ke Semarang pada tahun 1783, mengisahkan bahwa pelabuhan Semarang dikunjungi oleh banyak kapal dagang. Di pelabuhan ini perdagangan sangat ramai, dan produk-produknya juga amat melimpah.[4]

[1]  Ibid.,,  hlm. 101.

[2] Untuk mengetahui perluasan jaringan kereta api di Jawa, periksa Djoko Suryo, 1989: 108-113.

[3] Tramwegen Op Java. Gedenkboek Samengesteld ter Gelegenheid van Het Vijf en Twintig-jarig Bestaan der Semarang-Joana Stoomtram-Maatschappij (‘s-Gravenhage: Kon. Ned. Boek-en Kunsthandel van M.M. Couvee), 1907, hlm. 11-12.

[4] Ong Tai Hae , The Chinaman Abroad; or, A Desultory Account of the Malaya Archipelago, Particularly of Java (English trans., Shanghai), 1849, hlm. 7-8, dalam Donald Earl Willmott, The Chinese of Semarang: A Changing Minority Community in Indonesia (Ithaca, New York: Cornell University Press), 1960, hlm. 5-6.



[1] Rute ke kerajaan-kerajaan bermula dari  jalan setapak dari Semarang ke kerajaan Mataram , melewati Salatiga, yang mungkin merupakan rute yang dilalui oleh Ki Pandan Arang ke Tembayat.  Legenda tentang Ki Pandan Arang yang kemudian dikenal dengan Sunan Bayat dapat dibaca dalam D.A. Rinkes, “De Heiligen van Java, IV, Ki Pandan Arang ke Tembayat”, TBG 53 (1911), hlm. 511-548. Periksa jua Babad Nagari Semarang, dan H.J. De Graaf en Th. Pigeaud, De eerste Moslimse Vorstendommen op Java, hlm. 61-63. Sumber-sumber ini dikutip dari Djoko Suryo, 1989: hlm. 138.

[2]  Djoko Suryo, Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang 1830-1900 (Yogyakarta: PAU Studi Sosial Universitas Gadjah Mada), 1989, hlm. 138.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Marxism : The Root of Comunism, HISTORY SUBJECT FOR DJUWITA SENIOR HIGHSCHOOL Tanjungpinang - Petra Wahyu Utama

Semarang dan Kisah Tentang Congyang

SHINTA, DISKOTEK PERTAMA DI SEMARANG