SHINTA, DISKOTEK PERTAMA DI SEMARANG


Kota besar merupakan wilayah yang cepat menerima informasi baru dan hal ini menyebabkan lebih mudahnya masyarakat terpengaruh oleh budaya-budaya baru. Salah satu fungsi dari tempat hiburan malam adalah sebagai sarana untuk mengindentifikasi diri dan sarana mencari jati diri dengan mencari pergaulan baru. Kebutuhan akan hiburan adalah sebuah hal yang lumrah dimiliki oleh manusia, apalagi di tengah kepenatan kerja dan tingkat stres yang begitu tinggi. Oleh karena itu, kegiatan mencari kesenangan lewat hiburan adalah obat yang efektif untuk melepaskan kepenatan setelah melakukan aktvitas kerja. Kemunculan tren disko yang begitu pesat di Jakarta pada 1970-an turut mempengaruhi kota-kota besar lainnya termasuk kota Semarang. Sebagai ibu kota Provinsi Jawa Tengah dan pusat perekonomian, Semarang menjadi mudah tertular dengan perkembangan tren disko, tidak pelak para pelaku kegiatan bisnis hiburan kemudian membidik potensi ini dengan membangun fasilitas-fasilitas disko seperti Discobar dan Night Club yang menjadi perintis dari kemunculan tempat disko yang lebih luas yaitu Diskotek.
Secara garis besar, perbedaan penting antara Diskotek dengan Discobar ataupun dengan Night Club, pertama adalah terletak pada sisi ruangan. Diskotek biasanya memiliki ruangan yang jauh lebih luas dibanding dengan Discobar ataupun Night Club. Sound system yang digunakan tentunya lebih bertenaga, sehingga musik yang diputar terdengar begitu kencang. Luas ruangan diskotek diatur secara khusus untuk memanjakan pengunjungnya pada saat melantai, dan dari segi kapasitas gedung diskotek tentunya mampu menampung hingga ratusan orang pengunjung. Kedua, dari pelayanan minuman beralkohol yang dilakukan. Di dalam diskotek penyajian dikemas dengan lebih menarik dan para bartender biasanya tidak segan melakukan atraksi-atraksi tertentu pada saat mereka melakukan penyajian minuman. Ketiga dari sisi musik, alunan lagu yang diputar di dalam diskotek terasa lebih menghentak karena volume lagu dimainkan dengan kencang dengan bas yang begitu dominan, sehingga para pengunjung akan lebih menikmati suasana ketika mereka sedang "On". Hentakan musik yang mengalun begitu keras ini dihasilkan dari sound system yang memiliki kekuatan ribuan mega watt, sehingga terasa hingga ruang-ruang rongga dada.
A. Ruangan Discobar
Discobar merupakan gabungan dari dua kata yakni "disco" dan "bar", yang memainkan alunan musik disko di sebuah bar. Di dalam bar pengunjung bisa menikmati alunan musik ini bersama dengan minuman dan makanan yang telah disediakan. Bar merupakan suatu ruangan yang biasanya mempunyai penerangan redup dan samar-samar, diorganisasikan secara komersil dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti makanan, minuman ringan hingga minuman beralkohol. Di Indonesia keberadaan discobar ini sudah ada sebelum 1970. Hal ini karena dari fungsi bar itu sendiri sebagai fasilitas yang disediakan oleh hotel-hotel mewah. Selain makanan dan minuman, untuk lebih menarik datangnya pengunjung, pada umumnya bar juga menampilkan berbagai macam hiburan seperti live music atau pertunjukan seni lainnya.
Memasuki dekade 1970-an, musik disko yang tengah menjadi tren dipilih sebagai musik utama yang dimainkan di dalam bar, meskipun juga terdapat musik selingan seperti pop, country, blues, dan jazz. Hotel-hotel di Semarang kemudian mulai membangun ruang Discobar untuk melengkapi fasilitasnya. Seperti Hotel Plaza di Jalan Pemuda No. 6, yang pada Februari 1972 meresmikan ruangan discobar lengkap dengan fasilitas pendukung yakni Steambath-Massage (Mandi Uap). Dansa gaya disko ini akrab disebut dengan "Melantai" yang kemudian menjadi istilah tren di kalangan para pecinta dansa disko. Pada 1973 terselenggara lomba dansa disko pertama di Semarang yang diprakarsai oleh Amateur International Dancing Association (AIDA) yang menjalin kerja sama dengan manajemen Hotel Dibya Puri untuk menyelenggarakan lomba melantai dengan tajuk "Balon Dancing". Selain di hotel, discobar juga dibangun di Kompleks Taman Hiburan Rakyat (THR) Tegalwareng. Tempat yang bernama Monalisa ini dibangun pada 1975 dan selalu ramai dipenuhi oleh pengunjung karena di dalamnya juga terdapat fasilitas berupa mesin kasino.
B. Night Club (Klub Malam)
Seiring dengan peningkatan antusiasme masyarakat Semarang terhadap musik disko, discobar dianggap tidak mampu lagi menampung jumlah pengunjung yang datang. Luasan ruangan discobar dirasa kurang memadai dan tidak dapat menampung para pengunjung yang kian lama kian membeludak. Para pengusaha hiburan malam kemudian membuka sarana hiburan baru dengan ruangan yang lebih luas. Tempat ini kemudian dikenal dengan sebutan Night Club atau Klub Malam. Ruangan pada Night Club umumnya memiliki panggung yang terletak di depan, Dance Floor yang diletakkan di tengah, dan terdapat bar di pinggirnya yang difungsikan sebagai seating area. Dibanding dengan discobar, Night Club memiliki music sound system dan lighting effects yang lebih modern. Di dalam Night Club, musik tidak lagi diputar lewat piringan hitam atau alat pemutar musik lainnya, melainkan dimainkan langsung oleh seorang Disk Jockey (DJ) dengan volume yang kencang dan menghentak. Night Club diorganisasikan secara komersil layaknya seperti discobar, berkembang di luar maupun di dalam hotel, dan tentunya minuman beralkohol tetap menjadi menu utama yang selalu siap untuk disajikan dengan varian yang lebih lengkap dibanding discobar. Para pengunjung juga bisa menikmati makan malam dengan pelayanan prima, dilengkapi dekorasi yang mewah, dan diiringi dengan musik/hiburan.
Pada akhir 1970-an dan memasuki awal 1980-an, Night Club telah menjadi sebuah tempat yang dipandang Hype (gaul) di mata masyarakat. Musik disko yang dimainkan pun tidak lagi mainstream karena telah di-mix dengan berbagai macam aliran. Adapun Night Club di Semarang yang sangat terkenal pada dekade 1970-an hingga 1980-an terletak di Jalan Pemuda 21B yakni Troycana. Di dalam gedung ini acara-acara pesta dikonsep dengan baik sebagai contoh adalah Hawaiian Night. Kemudian penari profesional sengaja didatangkan khusus dari luar negeri, hingga pertunjukan tarian striptis pun menjadi pertunjukan yang selalu dinantikan oleh para pengunjung.
Para penikmat hiburan malam di Night Club ini kemudian mendapat sebutan sebagai Clubbers (kata kerja). Istilah ini muncul dari kata Club sebagai tempat yang sering mereka kunjungi. Aktivitas yang mereka lakukan kemudian disebut dengan Clubbing, yang pada akhirnya menjadi sebuah fenomena sosial tersendiri sebagai sebuah bentuk dari gaya hidup yang sengat digemari oleh orang-orang muda yang sangat mencintai pesta.
C. Diskotek Pertama di Semarang
Kemunculan Diskotek Tanamur di Jakarta ternyata kemudian diikuti oleh kota-kota besar lain di Indonesia. Di Kota Semarang PT. DSI Sarinah Semarang yang dalam jajaran tertingginya banyak diduduki oleh perwira ABRI, kemudian membuka tempat hiburan yang bernama Shinta. Awalnya, tempat yang terletak di kawasan Shopping Centre Djohar (SCD) ini diresmikan sebagai sebuah discobar pada 10 Januari 1970 dengan nama "Shinta Room".
Namun dalam perjalanannya, tempat ini terus mengalami perluasan dan renovasi dari tahun ke tahun. Pada pertengahan 1970-an, tempat ini benar-benar telah mencapai luasan dan fasilitas yang layak disebut sebagai Gedung Diskotek. Selain sebagai tempat ajojing, Shinta juga dilengkapi dengan tempat biliar, kasino, dan steambath.  Di tempat ini, para pengunjung sangat dimanjakan dengan alunan musik disko dari Disc Jockey (DJ), pertunjukan dari band-band penghibur, dan penampilan tarian striptis. 
Selain itu, para pramuria juga disediakan untuk menemani para pengunjung pada saat bersenang-senang. Shinta memulai jam operasionalnya antara pukul 20.00 WIB sampai dengan pukul 02.00 WIB dengan tiket masuk yang dikenakan antara Rp. 500-1000,00 bergantung dengan tema acara yang diadakan. Shinta mampu menjadi tempat yang bisa menyajikan segala bentuk kesenangan, sehingga untuk lebih memuaskan hasrat para pelanggannya, pihak pengelola Shinta kemudian terus menambah jumlah pramuria. Dari tahun ke tahun Shinta terus membuka iklan-iklan lowongan kerja di surat kabar dengan besaran gaji yang cukup menggiurkan pada masa itu.

Band-band dan penyanyi ternama dari ibu kota pun turut didatangkan untuk menghibur para pengunjung antara lain "Lanny Sisters" yang digawangi oleh Lanny Sukowati, penyanyi Emilia Contesa, Wiwiek Abidin, dan Dessy Arisandy menjadi deretan artis ibu kota yang pernah tampil di tempat ini. Akan tetapi, dalam upaya perluasan gedung Shinta ternyata didapati praktik tindak penyelewengan berupa korupsi yang dilakukan oleh oknum manajemen pada 1979. Tindakan korupsi ini menyebabkan kerugian sebesar Rp. 257.393.730,24,00, bahkan jajaran Shinta yang diduga terlibat dalam korupsi kemudian langsung mendapatkan perhatian serius dari Ketua Operasi Tertib (Opstib) Pusat yakni Laksamana TNI Sudomo dan Kepala Staf Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kas Kopkamtib) Yoga Sugama. Agar operasional Shinta Diskotek terus berjalan, maka pengelolaannya kemudian dialihkan kepada pihak swasta yakni PT. Sara Shinta. Selang dua tahun kemudian tepatnya pada 1981, Shinta kembali terganjal permasalahan yakni dalam hal perizinan. Perizinan ini terkait dengan alih perusahaan yang terjadi di dalam manajemen Shinta. 
Sejak 1981, eksistensi Shinta kemudian mengalami banyak kendala. Selain permasalahan internal dan wilayah Johar yang rentan tindak kriminalitas, perkembangan gedung-gedung diskotek lainnya juga berpengaruh pada penurunan volume pengunjung. Setidaknya pada rentan 1980-an, banyak diskotek dan night club yang bermunculan ada juga yang tenggelam. Tempat-tempat tersebut antara lain Diskotek Canasta, di kawasan Jalan Agus Salim, Hiu Kencana di kawasan hiburan Tirta Ria Tanjung Mas, Ming Palace di Metro Hotel, night club di dalam Hotel Sky Garden, Stardust yang terletak di kawasan elit Tanah Mas, Studio One, Venus yang terletak di lantai VII Plasa Simpang Lima, Super Star di Jalan Kenari, Lambada di Komplek Hotel Srondol, Siliwangi Pusat Dansa (SPD)/Superdome di Jalan Sudirman (Siliwangi), Murni Musik (MM) di Jalan Gajah Mada, dan Diskotek Scorpio.
Hingga memasuki era 1990-an Shinta kemudian benar-benar tenggelam karena kalah bersaing dengan diskotek lainnya, keseluruhan gedung SCD (Shopping Center Djohar) kemudian direnovasi dan selesai pada tahun 1994, pemerintah kemudian hanya memfungsikan tempat ini sebagai pusat perbelanjaan. Hal ini kemudian menjadi tanda tamatnya Shinta, diskotek pertama di Semarang.

Sumber:
A. B. Susanto, Potret-Potret Gaya Hidup Metropolis (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001).
Anggadewi Moesono, Minat Remaja Pada Musik Disko: Profil Remaja Pengunjung Diskotek. Pembinaan Anak dan Remaja (Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995).
Malbon, Clubbing: Dancing, Ecstacy, and Vitality (London: Routledge, 1999).
Muhammad Liyansyah, "Dugem Gaya Hidup Para Clubbers" (Medan: Jurusan Antropologi Sosial Universitas Sumatera Utara, 2009)
R.S Damardjati, Istilah-istilah Dunia Pariwisata (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001).
Shabrina Alfari, "Inspirasi Desain Bar dan Klub Malam", dalam https//www.arsitag.com/article/inspirasi-desain-bar-dan-klub-malam
"Casino dan Sematjam "Miraca Sky Club" Dibuka Diatas SCD", Suara Merdeka, 19 Desember 1969.
Handry, TM dan Anggoro Suprapto, "Lika-liku Penari Buka-bukaan", Suara Merdeka, 4 Desember 1989.
"Lanny Sister Mengisi Acara Akhir Pekan di Shinta", Suara Merdeka, 15 Juni 1974.
"Mandi Uap dan Discobar Plaza Dibuka", Suara Merdeka, 13 Juni 1972.
"Melantai Bersama "AIDA", dengan Hadiah Terbang dengan Pesawat MNA", Suara Merdeka, 9 Mei 1973.
"Pembangunan Shinta dan Hasil Casino Dikorup", Suara Merdeka, 23 Februari 1979.
"Shinta Room, Sarinah SCD Akan Hias Ruangan dengan Relief", Suara Merdeka, 5 Februari 1971.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Marxism : The Root of Comunism, HISTORY SUBJECT FOR DJUWITA SENIOR HIGHSCHOOL Tanjungpinang - Petra Wahyu Utama

Semarang dan Kisah Tentang Congyang