Semarang dan Kisah Tentang Congyang

Semarang dan Kisah Tentang Congyang


Oleh: Petra Wahyu Utama

Minuman yang mengandung alkohol selalu diidentikkan dengan hal-hal yang bersifat mudharat dan dapat menyebabkan dampak negatif bagi orang-orang yang mengkonsumsinya. Namun bagaimana jika minuman itu sudah menjadi sebuah trendmark yang melekat pada suatu daerah? Bahkan produksinya sudah berlangsung dari masa ke masa. Yaaap...., Orang Semarang mana yang tidak mengenal Congyang. Minuman legendaris yang keberadaannya bisa ditemui hingga kini, menjadi cinderamata dan oleh-oleh yang khas selain lumpia.

Awal Kemunculan Congyang

Congyang adalah mahakarya yang lahir dari tangan dingin seorang warga Tionghoa Semarang bernama Koh Tiong dimana dia mencurahkan segenap daya dan pemikirannya untuk meramu minuman yang bisa diterima oleh semua kalangan, baik dari mulai tukang becak, kuli panggul, pengusaha, guru, dosen, seniman, artis, pegawai negeri hingga mahasiswa. Congyang sebenarnya hanya istilah yang disematkan oleh orang-orang Semarang kepada minuman ini. Ada yang mengatakan bahwa kata Congyang adalah serapan dari bahasa Hokkian yang berarti Mawar Merah, padahal jika kita cermati dalam bahasa Hokkian kata "Chong" sendiri berarti Maju dan "Yang" sendiri tidak memiliki pemaknaan Mawar ataupun Merah (Hóngsè). Namun lepas dari hal itu, keunikan rasa Congyang telah menjadi bentuk asimilasi dua budaya, yakni etnis Jawa dan Tionghoa, yang bermukim bersama di Semarang.

Dari daerah Wotgandul ramuan minuman merk A Djong yang menjadi cikal bakal Congyang ditemukan. Penggunaan kata A Djong adalah bentuk penghormatan tersendiri bagi engkong (kakek) A Djong. Merupakan seorang ahli kungfu dan master tenaga dalam yang pernah memenangi kejuaraan kungfu gaya bebas di daratan Baligay, Tiongkok selama tujuh kali berturut-turut. Seiring berjalannya waktu, minuman A Djong kian lama ditinggalkan karena rasanya yang terlalu panas mirip seperti arak Cina. Rasa A Djong bagi para konsumen dirasa kurang bersahabat di lidah, tenggorokan dan perut mereka, hal inilah yang kemudian menyebabkan A Djong berangsur-angsur kian lama kian meredup. Untuk mengatasi kendala sepinya pembeli tersebut, Koh Tiong kemudian melakukan riset dengan mengolah ramuan baru yang merupakan hasil dari fermentasi beras putih, gula pasir, spirit, aroma, pewarna makanan Karmoisin CI No. 14720, Tartrazin CI No. 19140 serta Brilliant Blue CI No. 42090. 

Racikan ini kemudian mulai diproduksi dan dilempar ke pasaran. Ternyata pergulatan Koh Tiong dalam mengkreasikan minuman ini mendapatkan antusiasme dari masyarakat  kota Semarang. Ide yang super brilian ini kemudian menghantarkan perubahan nama, dari A DJONG menjadi TIGA DEWA dan pada tahun 1985 dipatenkan menjadi CAP TIGA ORANG. Hingga saat ini  Cap Tiga orang dikenal luas dengan istilah Congyang. Bagi para penikmatnya, Congyang merupakan air kedamaian, air kata-kata yang rasanya manis dan menghangatkan. Namun sebenarnya ramuan yang terkandung pada Congyang, diracik secara khusus oleh Koh Tiong untuk meningkatkan kejantanan atau keperkasaan bagi lelaki, dengan takaran khusus yakni 1 sloki (gelas kecil). Konsumsi Congyang yang sesuai dengan aturan akan berkhasiat untuk melancarkan peredaran darah dan membuat otot serta saraf menjadi rileks. Konsumsinya tidak boleh melebihi dosis karena jika melebihi dosis, maka minuman ini dapat memabukkan hingga menyebabkan seseorang menjadi hilang ingatan.   

Perubahan Fungsi dari Jamu Menjadi Minuman Memabukkan

Congyang yang pada esensinya adalah minuman yang dibuat sebagai jamu kesehatan, akan tetapi pada perjalanannya, jamu ini banyak dikonsumsi secara berlebihan oleh para konsumennya. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, maka pemerintah membuat kebijakan dengan memasukkan  minuman ini kedalam kategori minuman beralkohol golongan B karena didalamnya memiliki kandung alkohol sebesar 19.5%. Peredaran minuman ini kemudian harus dilakukan dalam pengawasan yang ketat. Di lain sisi, sebagian kalangan beranggapan bahwa minuman keras ini adalah sumber  dari meningkatnya kriminalitas yang terjadi di Kota Semarang. Terutama berkaitan dengan masalah penyimpangan pergaulan remaja, banyak sekali kasus yang ditengarai terjadi dikalangan pelajar bersumber dari pengkonsumsian minuman ini. Congyang sangat mudah untuk didapatkan dan harganya yang cukup terjangkau dituding sebagai akar dari munculnya masalah kriminalitas.

Razia demi razia yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, tidak mengurangi kecintaan sebagian masyarakat untuk setia mengkonsumsi minuman ini. Bahkan para pelancong yang berasal dari luar daerah, sengaja datang ke Semarang khusus untuk mencoba minuman yang melegenda ini. Para Suporter PSIS, klub sepakbola kebanggaan Kota Semarang juga memiliki andil besar dalam memperkenalkan Congyang ke luar daerah. Mereka membawa serta minuman ini sebagai cinderamata untuk suporter lainnya, ketika klub kebanggaan mereka menjalani laga tandang ke luar kota. Menurut 'Dnz' salah satu dedengkot suporter Semarang garis keras Kaligawe, istilah "Mabuk Resek" sebenarnya tergantung dari pribadi masing-masing orang. Congyang sendiri tidak serta merta bisa dipersalahkan sebagai faktor utama yang memicu terjadinya bentrok antar suporter. Hal senada juga disampaikan oleh Dhengkek (nama disamarkan) yang berprofesi sebagai mandor yang memegang beberapa PO bis di Terminal Kaligawe. Congyang baginya adalah sarana untuk mempererat kekeluargaan di tengah-tengah ketatnya persaingan kerja di lingkungan terminal.

Akan tetapi pendapat berbeda dikemukakan oleh Ferdieca yang merupakan pendeta di salah satu sinode gereja di Semarang. Baginya yang aktif terlibat dalam gerakan anak-anak muda Kristen, keberadaan Congyang sedikit banyak tetap akan berpengaruh pada pola perilaku seseorang, terutama anak-anak muda yang mudah terbawa emosi. Kondisi mabuk tentunya berpengaruh pada jiwa anak-anak muda yang belum labil dan memicu sikap temperamental yang ada dalam diri mereka. Senada dengan Ferdieca, Gus Rochim Tambakroto juga memberikan pendapat yang hampir sama. Mantan aktivis HMI ini mengatakan bahwa di dalam sebuah riwayat tertulis bahwa mengkonsumsi minuman yang mengandung Khamr maka shalat, puasa dan amal kebajikan lain selama 40 hari, 2 kali munim ditolak semua selama 80 hari, 3 kali ditolak sampai 120 hari, dan 4 kali minum miras ia telah kafir.

Kemampuan Congyang untuk Bertahan

Meski keberadaan Congyang menimbulkan pro dan kontra, namun perkembangan minuman ini kian lama justru semakin pesat.  Hal tersebut terbukti dari berpindahnya tempat produksi lama di Jalan Wot Gandul ke areal yang lebih luas yakni di Jalan Industri IV/C Nomor 10-11. Congyang kemudian mulai dikelola dengan manajemen yang lebih profesional dibawah naungan PT. TIRTO WALUYO. Perusahaan ini dari waktu ke waktu memproduksi varian lain selain Congyang. Hingga saat ini nama Anggur Kolesom Cap Orang Tua, Malaga, Mansion, Vodka, dan Anggur Beras Kencur adalah produk dari PT. Tirto Waluyo yang begitu akrab ditelinga masyarakat.

Eksistensi Congyang yang sejak dahulu harus bergulat dengan razia-razia yang dilakukan oleh aparat kemudian menemui titik terang pada tahun 2010. Cong Yang kemudian dilegalkan sebagai produk komoditi yang dilengkapi dengan cukai dagang di tutup botolnya serta BPOM.RI.MD 100211026009 pada kemasannya. Meskipun produk ini laris manis dipasaran, produksi Congyang tetap dibatasi oleh Pemerintah Kota Semarang. Setiap harinya PT. TIRO WALUYO hanya diperbolehkan memproduksi maksimal 1.000 dus.

Lepas dari pro-kontra terhadap kehadiran minuman ini, orang-orang telah menjadikannya sebagai oleh-oleh yang khas, dimana hanya di Semarang produk ini benar-benar diproduksi tanpa ada cabang-cabang di kota lain. Setelah dilengkapi dengan cukai, para konsumen bisa mendapatkannya dengan harga eceran mulai dari Rp. 35.000,- hingga Rp. 40.000,- di warung-warung minuman yang telah mendapatkan ijin untuk memperdagangkan produk ini    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Marxism : The Root of Comunism, HISTORY SUBJECT FOR DJUWITA SENIOR HIGHSCHOOL Tanjungpinang - Petra Wahyu Utama

SHINTA, DISKOTEK PERTAMA DI SEMARANG