Dampak Perubahan Pola Wisata Bagi Masyarakat di Desa Pangandaran Kecamatan Pangandaran Kabupaten Ciamis Tahun 1999-2008
Dampak Perubahan Pola Wisata Bagi Masyarakat di Desa Pangandaran Kecamatan
Pangandaran Kabupaten Ciamis Tahun 1999-2008
Oleh: Petra Wahyu Utama
Oleh: Petra Wahyu Utama
Pariwisata merupakan salah satu kegiatan industri pelayanan dan jasa yang
menjadi andalan Indonesia dalam rangka meningkatkan devisa negara disektor non
migas. Pangandaran merupakan salah satu objek wisata
pantai di Jawa Barat yang terletak di Kabupaten Ciamis. Objek wisata ini mampu
memberikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sangat besar bagi Kabupaten
Ciamis. Sektor Pariwisata Pantai Pangandaran di Kabupaten Ciamis menjadi salah
satu sektor bisnis penting yang perkembangannya terus dioptimalkan dan
diupayakan supaya berjalan dengan signifikan.
Pariwisata dapat memberikan
perubahan paradigma dari pola pikir masyarakat. Masyarakat yang kreatif dalam
memanfaatkan potensi wisata yang ada di sekitarnya, merupakan nilai tambah dalam
mengembangkan potensi wisata yang ada. Oleh karena
itu mengkombinasikan
potensi wisata dengan kreatifitas
sangatlah perlu untuk dilakukan,
event-event pariwisata harus disusun secara konsisten sehingga dapat dijadikan
acuan oleh para pelaku pariwisata.
Pangandaran merupakan
primadona pantai di Jawa Barat ini terletak di Kecamatan Pangandaran dengan
jarak ± 92 km arah selatan Kota
Ciamis. Pada awalnya kawasan Pangandaran ini dibuka
dan ditempati oleh para nelayan dari suku sunda. Penyebab pendatang lebih
memilih daerah Pangandaran untuk menjadi tempat tinggal karena gelombang laut
yang kecil yang membuat mudah untuk mencari ikan. Di sinilah para nelayan
menjadikan tempat tersebut untuk menyimpan perahu yang dalam bahasa sundanya
disebut andar setelah beberapa lama
banyak berdatangan ke tempat ini dan menetap sehingga menjadi sebuah
perkampungan yang disebut Pangandaran. Pantai Pangandaran sangat istimewa
karena berbentuk semenanjung atau lebih sederhananya adalah sebuah daratan yang
menjorok ke lautan, sehingga sewaktu pagi dari sisi sebelah timur dapat melihat
terbitnya matahari (sunrise) dan sore
harinya dari sisi sebelah barat dengan jarak tempuh yang tidak begitu jauh
dapat melihat terbenamnya matahari (sunset). Masyarakat Desa
Pangandaran memiliki tradisi yang dipelihara secara turun temurun yakni upacara
hajat laut setiap bulan Muharam dengan melarung berbagai macam sesajen di
Pantai Timur Pangandaran yang dilakukan oleh nelayan setempat sebagai
perwujudan rasa terima kasih mereka terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kearifan lokal ini menambah daya tarik wisatawan untuk
datang mengunjungi kawasan ini.[1]
Jumlah wisatawan yang makin meningkat dari tahun ke tahun di wilayah
Pangandaran menyebabkan terjadinya perubahan consumers-behaviour pattern
atau pola perilaku dari para wisatawan. Wisatawan tidak lagi terfokus hanya
untuk menikmati matahari terbit, matahari tenggelam, dan pasir putih di kawasan
pantai Pangandaran, pola konsumsi wisatawan telah berubah ke jenis wisata yang
lebih tinggi, kebutuhan wisatawan lebih meningkat yakni kearah produk atau
kreasi budaya (culture) dan
peninggalan sejarah serta eko-wisata.[2]
Secara
sosiologis perubahan pola wisata
di Desa Pangandaran dipengaruhi oleh
tiga interaksi yaitu interaksi bisnis, interaksi politik dan interaksi budaya. Interaksi bisnis adalah
interaksi di mana kegiatan ekonomi yang menjadi basis materialnya dan
ukuran-ukuran yang digunakannya adalah ukuran-ukuran yang bersifat
ekonomi. Interaksi politik adalah interaksi di mana hubungan budaya dapat
membuat ketergantungan dari satu budaya terhadap budaya lain atau dengan kata
lain dapat menimbulkan ketergantungan masyarakat
terhadap masyarakat
lain yang dipicu oleh kegiatan persentuhan aktivitas pariwisata dengan
aktivitas eksistensial. Sedangkan interaksi kultural adalah suatu bentuk
hubungan di mana basis sosial budaya yang menjadi modalnya. Dalam dimensi
interaksi kultural dimungkinkan adanya pertemuan antara dua atau lebih warga
dari pendukung unsur kebudayaan yang berbeda. Pertemuan ini mengakibatkan
saling sentuh, saling pengaruh dan saling memperkuat sehingga dapat mempengaruhi kemurnian budaya dan kebiasaan
masyarakat lokal.[3]
Perubahan pola wisata yang terjadi di Kawasan Pantai Pangandaran menuntut peningkatan
strategi pengembangan pariwisata maupun promosi, baik disisi pemerintah maupun
swasta. Dari tahun ke tahun Obyek Wisata Pantai Pangandaran mengalami banyak
perubahan baik dari segi insfraktuktur, maupun dari pilihan wisata yang
ditawarkan kepada wisatawan yang mengunjungi Obyek Wisata Pantai Pangandaran. Pertemuan
manusia atau masyarakat dengan latar belakang sosial budaya yang akan
menghasilkan berbagai proses perubahan seperti
akulturasi, dominasi, asimilasi, adopsi, dan
adaptasi. Hal-hal
baru muncul pada tatanan kehidupan masyarakat mudah sekali memicu terjadi perubahan-perubahan
dari segala sisi.
Perubahan pola wisata juga berdampak pada perubahan
sosial yang terjadi dalam masyarakat di
Desa Pangandaran. Faktor-faktor yang mempengaruhinya yaitu pola pikir masyarakat lokal yang sudah maju, sikap masyarakat
lokal yang terbuka dan adanya kontak dengan kebudayaan lain. Kondisi memicu berkembangnya berbagai opini mengenai perubahan pola wisata
di wilayah ini. Bagi masyarakat yang tinggal disekitar Kawasan Pantai
Pangandaran, terjadinya perubahan pola wisata secara otomatis membawa dampak
positif dan negatif bagi kelangsungan hidup mereka. Dampak yang ditimbulkan
dari perubahan pola wisata ini pada akhirnya memicu terjadinya masalah internal
dan eksternal pada masyarakat di Kawasan Pantai Pangandaran yakni ;
- Faktor Internal : perubahan pola wisata menuntut berkembangannya segi infrastuktur dan segala instrumen yang mendukung pariwisata. Untuk mewujudkan hal ini Pemerintah Kabupaten Ciamis telah banyak bekerjasama dengan pihak swasta. Di satu sisi ini adalah hal yang positif bagi masyarakat, namun minimnya pendidikan masyarakat dan iming-iming materi dari pihak swasta memicu masyarakat beramai-ramai untuk menjual tanahnya kepada investor. Hal ini sangat berdampak buruk karena memicu terjadinya perubahan pola wisata di kawasan Pantai Pangandaran dari tahun 1999-2008, ini mengakibatkan masyarakat Desa Pangandaran yang telah menjual tanahnya pada kurun waktu itu, kini hanya bertindak sebagai penonton semata.
- Faktor Eksternal : berkembangnya Kawasan Pantai Pangandaran menjadi kawasan wisata primadona di Kabupaten Ciamis menyebabkan masyarakat diluar wilayah ini berbondong-bondong datang ke tempat ini dengan berbagai faktor. Selain berwisata, masyarakat dari luar datang ke Pangandaran untuk mencoba peruntungan nasib di bidang perekonomian. Tentunya orang lain yang datang ke Pangandaran tersebut membawa kebiasaan dan budaya masing-masing. Namun pada dasarnya kebudayaan dari laen tempat ini tidak semuanya baik. Perubahan pola wisata di Kawasan Pantai Pangandaran yang beradaptasi dengan kebiasaan negatif yang dibawa dari luar ini, berdampak pada munculnya masalah masyarakat tersendiri seperti prostitusi, kriminalitas, dan tindak kekerasan.
Pantai
Pangandaran merupakan bagian dari sembilan kawasan wisata unggulan di Provinsi
Jawa Barat sesuai dengan pembagian kawasan wisata unggulan dalam
RIPPDA Jabar tahun 2005. permasalahan tersebut sekaligus menjadi isu
strategis pengembangan pariwisata kawasan wisata minat khusus di Kabupaten Ciamis. Pemerintah Jawa Barat khususnya
Pemerintah Kabupaten Ciamis berusaha mengembangkan kawasan rekreasi
Pantai Pangandaran yang lebih
menekankan pada peningkatan citra Kawasan Pangandaran, penataan kawasan,
integrasi kegiatan dan program pengembangan di wilayah tersebut,
peningkatan kesadaran masyarakat dan aparat terhadap pariwisata, serta
penggalangan komitmen dari stakeholders pariwisata.[4]
Pemerintah Daerah Kabupaten Ciamis telah membuat berbagai peraturan untuk
mengatur Kawasan Wisata Pantai Pangandaran. Peraturan ini dibuat agar terjadi
keseimbangan antara pertumbuhan wisata, kesejahteraan masyarakat, dan
kelestarian alam di Kawasan Pantai Pangandaran. Hal ini seperti yang tersebut
pada UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pendapatan Asli daerah yang difokuskan untuk meningkatakan
kesejahteraan masyarakat,[5]
kemudian Peraturan Daerah Jawa Barat No 2 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung yang difungsikan sebagai dasar untuk memelihara kondisi
lingkungan dan meningkatkan kelestarian alam serta lingkungan.[6]
Kebijakan ini dibuat dan diberlakukan Pemerintah Kabupaten Ciamis karena
Pemerintah merasakan bahwa perubahan pola wisata mengakibatkan penurunan
kualitas keindahan Pangandaran. Hal ini terlihat dari kesemrawutan pengelolaan
Pedagang Kaki Lima (PKL), perpakiran dan permasalahan area penambatan kapal
nelayan. Keadaan ini sangat berpengaruh besar pada keseimbangan ekosistem
kawasan Pantai Pangandaran.[7]
Pemerintah Kabupaten Ciamis dalam hal ini harus sadar
bahwa perubahan pola wisata merupakan faktor
yang harus diantisipasi dengan mendorong
pengembangan obyek wisata Pangandaran
yang mengoptimalkan daya tarik pantai, serta didukung oleh sarana
dan prasarana memadai tanpa merusak ekosistem kawasan Pantai Pangandaran. Bentuk relokasi dan penertiban terhadap berbagai hal
yang berdampak negatif menjadi sebuah upaya yang harus dilakukan untuk
mengembalikan citra Pantai Pangandaran sebagai kawasan pantai yang eksotis.
[1]Pemerintah Kabupaten Ciamis, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Kawasan Pantai Pangandaran 2003, hlm 1-2.
[2]Setyanto P.
Santosa, Pengembangan Pariwisata Pangandaran,
dalam Jawa Pos, Kamis 14 Februari 2002.
[3]M.Taufiq,http://www.manubanatkudus.sch.id/index.php/sosialbudaya/46sosialbudaya/84-pariwisata,
(Online) “Pariwisata dan Pergeseran Budaya”, diunduh pada 15 Desember 2011.
[4]http://www.p2par.itb.ac.id/?p=508, “Pusat Perencanaan dan Pengembangan Kepariwisataan Institut Teknologi Bandung”, diunduh pada hari Kamis, pukul 00.15 WIB.
[6]Peraturan
Daerah Jawa Barat No 2 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung pasal 1
ayat 30
[7]http://www.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/informasi/berita/detailberita/2597/2004, “Jabar Travel Exchange (JTX) September
2004”, diunduh pada 5 Desember 2011 pukul 21.45.
Komentar
Posting Komentar