Suku Laut di Kepulauan Riau: Khasanah Budaya Kemaritiman Indonesia



Oleh: Petra Wahyu Utama

Maritim merupakan jambatan budaya yang berperan sebagai pembina sebuah peradaban. Hubungan antar suku bangsa di wilayah Kepulauan Riau yang telah terjalin sejak lama menghantarkan mereka kepada Tamadun Alam Melayu yang unik yang berciri khas kabaharian. Menurut Tenas Effendy (2006), ketamadunan masyarakat Melayu dituangkan lewat buku Tunjuk Ajar Melayu yang digunakan sebagai pedoman mereka dalam mendidik anak-anaknya, didalamnya terdapat bagian yang berbunyi, “Anakku duduk memangku negeri, baik-baik memeliharakan diri, jangan diubah adat yang bahari, supaya ramai dagang santri”. Ini membuktikan bahwa laut menjadi bagian yang sangat penting dalam upaya mempertahankan eksistensi kebudayaan Melayu itu sendiri. Suku Laut merupakan sebutan untuk menunjukkan orang yang pada hakekatnya bertempat tinggal dan memiliki habitasi di laut. Suku Laut memiliki beberapa nama lain seperti Suku Pengembara dan Orang Sampan, mereka hidup berkelompok-kelompok sehingga membentuk beberapa klan.

Eksistensi dan Klasifikasi Suku Laut

Menurut Cynthia Chou (2009), dalam sejarah Melayu Orang Laut dikenal sebagai penjaga wilayah perairan kesultanan, pasukan perang, dan bertugas untuk menyediakan kebutuhan-kebutuhan laut bagi pihak kesultanan. Suku Laut merupakan suku yang hidup didalam perahu yang senantiasa hidup mengembara dilautan. Pada abad ke-18, Orang Laut telah benar-benar tunduk dibawah kesultanan Riau-Lingga, mereka merupakan sekumpulan kelompok suku bangsa atau klan yang dibedakan berdasarkan teritori domisili mereka dan sangat setia terhadap para Zuriat Melayu. Ketika klan Orang Laut itu bersatu, mereka disebut sebagai “Orang Kerahan”, mereka selalu berpandangan bahwa orang Melayu adalah kaum aristokrat dan pedagang yang harus dihormati. Orang Laut bersama dengan orang Bugis dan Banjar adalah suku yang pada masa lalu selalu terlibat dalam mempertahankan kerajaan.

Wilayah perairan Kepulauan Riau merupakan kawasan yang didiami oleh beberapa klan dari Orang Laut, masing-masing klan Orang Laut ini dipimpin oleh seorang Batin (Kepala Suku). Suku Tambus, Suku Galang, Suku Mantang, Suku Barok, dan Suku Mapor adalah suku dari Orang Laut yang mendiami kawasan peraiaran ini. Dalam satu kelompok suku laut atau klan bisa mencapai sekitar 30-an kajang/sampan. Satu kajang/sampan biasanya dihuni oleh satu keluarga (Lioba Lenhart, 1997: 584-585). Orang Laut yang berada dikawasan perairan Kepulauan Riau memiliki klasifikasi yang berbeda dengan Suku Laut lain di Asia Tenggara seperti Orak Lawoi, Bajau, Moken, dan Ameng Sawang. Oleh sebab itu para ahli kemudian melakukan pengklasifikasian terhadap mereka yakni:
  1. Urak Lawoi’/Orak Lawoi’/Lawta/Chaw Talay/Chawnam/Lawoi yang memiliki habitasi di perairan Pulau Phuket, Phi Phi, Jum, Lanta, Bulon, Lipe, Andang di Kepulauan Andang, dan Andaman Thailand Selatan dimana sebagian mereka menganut Traditional Religion (Animisme), Theravada Buddhis, dan Kristiani serta berbahasa Melayu Cho Lai/Melayu Urak Lawoi.
  2. Suku Moken yang memiliki habitasi di perairan Thailand Selatan, Myanmar (Birma), dan Malaysia (Laut Andaman) dimana mereka berbahasa Moken.
  3. Suku Laut/Orang Laut/ Orang Sampan Subgrup: Orang (Suku) Mantang, Orang (Suku) Mapor, Orang (Suku) Barok, dan Orang (Suku) Galang yang memiliki habitasi di perairan Provinsi Kepulauan Riau Indonesia yang sebagian dari mereka masih memuja Dewa Laut dan sebagian lainnya telah memeluk Islam dengan dialek Melayu yang khas Orang Laut.
  4. Suku Ameng Sewang yang memiliki habitasi di perairan Provinsi Bangka Belitung, Indonesia yang mana 90% dari mereka telah memeluk agama Islam dan berbahasa Melayu Bangka
  5. Badjao/Badjau, Bajao, Bajaw yang memiliki habitasi di perairan Pulau Kalimantan bagian timur, Sulawesi Utara (Indonesia), Malaysia, dan Filipina. Sebagian dari mereka masih percaya akan keyakinan lokal dan sebagian lagi telah menganut agama Kristiani. Bahaya Malayu Polinesian digunakan secara khas oleh mereka sesuai dengan kelompok-kelompok mereka masing-masing.
Khusus Orang Laut di Kepulauan Riau masih banyak yang hidup dilaut dan memfungsikan sampan sebagai rumah mereka dan banyak menghabiskan waktunya di lautan. Pola hidup mereka masih berpindah-pindah tempat antara pulau yang satu ke pulau yang lainnya (nomaden) karena dalam mempertahankan hidupnya, orang-orang laut ini masih benar-benar mengandalkan hasil laut untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. 

Orang Laut ini hidup berkelompok-kelompok sehingga membentuk beberapa klan. Klan tersebut dibedakan berdasarkan teritorial domisili mereka. Dalam satu kelompok suku laut atau klan bisa mencapai sekitar 30-an kajang/sampan. Satu kajang/sampan biasanya dihuni oleh satu keluarga yang anak-anaknya masih kecil, dibawah 10 tahun. Barulah jika anak, terutama laki-laki, telah beranjak remaja akan dibuatkan kajang sendiri. Di atas kajang ini pula, mereka mencari pasangan hidup dan membentuk keluarga baru. Kelompok Orang Suku Laut akan mendarat di suatu pulau jika mereka hendak mengambil air bersih, mengebumikan anggota kelompoknya yang meninggal dunia, dan menjual ikan hasil tangkapannya. Tidak ada pulau yang tetap yang mereka singgahi, dimana mereka memerlukan kebutuhan hidup, disana mereka akan berlabuh atau singgah.

Upaya "Mendaratkan" Apakah Sebuah Solusi?  

Maritim sudah menjadi budaya yang mengakar kuat di tengah masyarakat Melayu di Kepulauan Riau. Dari mulai perihal mencari nafkah hingga adat istiadat yang dipelihara hingga saat ini, sebagian besar adalah perwujudan dari kebudayaan maritim. Berkaitan dengan Orang Laut ini, pemerintah Provinsi Kepulauan Riau mulai membenahi tatanan pola kehidupan mereka dengan membangun sarana perumahan, kesehatan, dan pendidikan disekitar pesisir pantai yang khusus diberikan secara gratis dan berabagai program-program pemberdayaan masyarakat pulau dan pesisir, yang khusus ditujukan untuk Orang Laut.

Bertahun-tahun Dinas Sosial Provinsi Kepulauan Riau melakukan upaya sosialisasi kepada Orang Laut dan membujuk mereka untuk tinggal di darat. Pada awalnya Orang Laut menuruti apa yang diinginkan oleh pemerintah. Namun hal ini tidak berlangsung lama, banyak dari mereka yang meninggalkan rumah-rumah yang telah disediakan dan kembali lagi hidup di laut karena mereka menganggap rumah di darat hanya sebagai persinggahan sementara saja. Hal ini tidak serta merta membuat pemerintah setempat menjadi patah semangat. Upaya terus dilakukan pemerintah agar Orang Laut ini mau tinggal dan menetap di darat. Harapan pemerintah adalah ketika mereka mampu hidup di darat maka upaya untuk mendekatkan mereka terhadap peradaban modern akan semakin besar. Orang laut kemudian sedikit demi sedikit telah menempati rumah-rumah yang disediakan oleh pemerintah dikawasan Berakit (Kecamatan Teluk Sebong), Air Kelubi (Kecamatan Bintan Pesisir), Numbing (Bintan Pesisir), Kawal Pantai (Gunung Kijang) dan Mapur (Teluk Sebong), Pulau Bertam (Batam), Desa Penuba (Lingga), Pulau Mensemut (Senayang), dan beberapa titik di Anambas serta Natuna.

Akan tetapi frame pemerintah bahwa segala sesuatu yang beradab harus berhubungan dengan darat seolah-olah melupakan bahwa orang-orang laut ini adalah kelompok yang sejak ratusan tahun lalu telah mengarungi lautan pada siang hari maupun malam hari, hujan, badai bahkan gelombang besar bukanlah sesuatu yang menakutkan bagi mereka tetapi merupakan tantangan yang harus disikapinya dengan arif dan bijak. Kepekaan mereka terhadap tanda-tanda yang diberikan oleh alam jauh melebihi orang-orang yang lahir dan menghabiskan hidupnya didarat. Jadi tidak heran jika mereka memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan alam.

"Mendaratkan" yang selama ini masih dianggap sebagai upaya satu-satunya upaya untuk mendekatkan mereka kepada peradaban modern, pemerataan kesejahteraan dan pendidikan harus dikaji ulang. Mengingat sejak ratusan tahun lalu mereka telah memiliki peradabannya sendiri bahkan jauh lebih hebat dalam mengamati fenomena alam dibanding dengan teknologi modern yg dipakai pada saat ini. Solusi baru yang lebih baik harus segera diformulasikan agar mereka yang sudah didaratkan tidak melulu kembali lagi ke laut sehingga pemerataan kesejahteraan bagi Orang Laut ini dapat tercapai dengan baik. 

Puskesmas Terapung dan Sekolah Perahu adalah Keniscayaan

Perpres Nomor 129 Tahun 2018 tentang Rincian APBN 2019 telah memutuskan bahwa anggaran pendidikan 2019 sebesar Rp. 492,555 Triliun dan anggaran kesehatan yang mencapai Rp 121,9 Triliun, dimana terdiri dari Rp. 88,2 Triliun melalui belanja pusat dan Rp. 33,7 triliun melalui transfer ke daerah. Melihat besarnya anggaran pendidikan dan kesehatan ini, maka pengadaan Puskesmas keliling yang menggunakan perahu bermotor ataupun sekolah-sekolah diatas perahu sangat memungkinkan untuk diselenggarakan. 

Jika sarana ini bisa terwujud, maka pemerintah harus melakukan rekrutmen terhadap tenaga medis ataupun tenaga pendidik yang benar-benar memiliki hati untuk mencerdaskan dan menyehatkan kehidupan  masyarakat pesisir. Jika perlu tenaga-tenaga pendidik dan kesehatan ini diberikan bayaran besar sesuai dengan jerih payah yang mereka lakukan. Hingga sekarang masih belum ada sekolah-sekolah formal yg dibuat khusus dengan menggunakan perahu sebagai sarana dan tempat anak-anak dari Orang Laut untuk belajar dalam menimba ilmu pengetahuan. 

Perlu disadari bahwa nilai-nilai budaya dari Orang Laut adalah sebuah kekhasan yang membedakan jati diri mereka dengan masyarakat yang lainnya. Upaya "Mendaratkan" justru menyebabkan laut menjadi tersingkir dari ranah budayanya dimana selama ini laut adalah sumber kehidupan bagi mereka. Hal ini secara otomatis juga menimbulkan keterpaksaan bagi mereka untuk ‘menetap’ di satu-dua tempat, dan tidak lagi bisa hidup berpindah seperti yang telah dilakukan oleh nenek moyangnya.

Jika pemerintah mampu mewujudkan solusi yang lebih baik, maka dengan demikian kita sebagai orang Indonesia yang sering menyanyikan lagu "Nenek Moyangku Seorang Pelaut" tidak melupakan identitas bangsanya sendiri sebagai masyarakat bahari, mengingat nenek moyang kita yang sejak berabad-abad lalu telah menjadikan laut sebagai dimensi utama dalam dinamika perdagangan dan sarana interaksi antar bangsa maka "Melautkan Diri Kita Kepada Orang Laut" adalah  hal yang harus segera mewujud. Semoga menjadi bahan renungan bagi kita semua.


Daftar Pustaka

Chou, Cynthia. 2009. The Orang Suku Laut of Riau, Indonesia: The Inalienable Gift of Territory. London: Routledge.

Evawarni. 2005, Kearifan Lokal Adat Orang Laut di Kepulauan Riau, Dokumentasi dan Perpustakaan Balai Kajian Sejarah Tanjung Pinang

Lapian. A.B. 2009, Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Jakarta: Komunitas Bambu.

Lenhart, Lioba. 1997, Orang Suku Laut Ethnicity and Acculturation: Riau in Transition. Published by: KITLV, Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies.

Yulia, Desma. 2015, Sejarah Perkembangan Suku Laut di Tanjung Gundap Kelurahan Tembesi Kecamatan Sagulung Batam Tahun 1982-2012, Batam: Unrika


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Marxism : The Root of Comunism, HISTORY SUBJECT FOR DJUWITA SENIOR HIGHSCHOOL Tanjungpinang - Petra Wahyu Utama

Semarang dan Kisah Tentang Congyang

SHINTA, DISKOTEK PERTAMA DI SEMARANG