Malari dalam Selayang Pandang

Oleh: Petra Wahyu Utama
Dari berbagai Sumber



Jakarta, 15 Januari 1974, adalah hari dimana kebebasan mengemukakan pendapat dibalas dengan pembungkaman yang disertai kekerasan oleh sang penguasa negeri ini waktu itu. Kerusuhan pun merembet ke pengrusakan sarana umum dan penjarahan. Buntut dari kejadian itu adalah ditangkapnya beberapa tokoh dan aktifis mahasiswa yang diduga ikut bertanggung jawab terjadap kejadian Malari. Sejumlah surat kabar juga diberangus. Pemegang jabatan strategis militer pada saat itu juga diganti.
Peristiwa Malari berawal dari apel ribuan mahasiswa dan pelajar yang berlangsung dari kampus Universitas Indonesia (UI) di Jalan Salemba, Jakarta Pusat, hingga menuju kampus Universitas Trisakti di Grogol, Jakarta Barat. Apel yang dilakukan oleh para mahasiswa itu menghasilkan keputusan untuk mendesak pemerintah pada saat itu untuk memberantas korupsi dan juga mengubah kebijakan ekonomi terutama mengenai modal asing yang didominasi Jepang, dan membubarkan lembaga tidak konstitusional seperti Asisten Pribadi Presiden. Apel itu bertepatan dengan datangnya Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Jakarta pada 14-17 Januari 1974.
Setelah apel selesai, para mahasiswa dan pelajar peserta apel tersebut membakar patung PM Jepang, Kakuei Tanaka. Lalu kemudian mereka mencoba menerobos masuk ke Istana Presiden di kawasan Monas, yang saat itu sedang ada pertemuan antara Presiden Soeharto dengan Kakue Tanaka di dalam Istana Presiden. Aparat keamanan pun merespon dengan memblokade para demonstran, dan entah siapa yang memulai, kemudian demonstrasi itu berujung pada kerusuhan.
Ketika pulang ke Jepang, tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00 WIB PM Tanaka  berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari gedung Bina Graha ke pangkalan udara. Itu memperlihatkan bahwa suasana Kota Jakarta masih mencekam. peristiwa ini merupakan perwujudan dari sentimen antimodal Jepang.
Tulisan ini akan menggambarkan bahwa hipotesis itu tidak tepat, aktivitas pembakaran barang-barang buatan/merek Jepang itu hanya alasan untuk kepentingan lain dari pihak yang bertikai, bahkan bersaing meraih kekuasaan yang lebih tinggi. Kasus ini mencerminkan friksi elite militer, khususnya rivalitas antara Jenderal Soemitro dan Ali Moertopo. Sebagaimana diketahui, kecenderungan serupa juga tampak di kemudian hari dalam kasus Mei 1998 (Wiranto versus Prabowo). Kedua kasus ini--meminjam ungkapan Chalmers Johnson (Blowback, 2000) dapat kiranya disebut permainan 'jenderal kalajengking' (scorpion general).
Beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan kaum intelektual terhadap Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto (Ali Moertopo, Soedjono Humardani, dan lain-lain) yang memiliki kekuasaan teramat besar.
Setelah terjadi demonstrasi yang disertai di tempat lain dengan kerusuhan, pembakaran dan penjarahan, Jakarta pun menjadi berasap. Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Pangkopkamtib dan langsung mengambil alih jabatan tersebut. Aspri Presiden dibubarkan. Kepala BAKIN Sutopo Juwono didubeskan dan diganti Yoga Sugama.
Bagi Soeharto, kerusuhan 15 Januari 1974 telah mencoreng keningnya karena peristiwa itu terjadi di depan hidung tamu negara, PM Jepang. Malu yang tak tertahankan itu menyebabkan ia untuk selanjutnya sangat waspada terhadap semua orang/golongan serta melakukan sanksi tak berampun terhadap pihak yang bisa mengusik pemerintah.
Selanjutnya ia sangat selektif memilih pembantu dekatnya antara lain dengan kriteria 'pernah jadi ajudan presiden'. Segala upaya dijalankan untuk mempertahankan dan mengawetkan kekuasaan, baik secara fisik maupun secara mental. Jadi dari sudut ini, Peristiwa 15 Januari 1974 dapat disebut sebagai salah satu tonggak sejarah kekerasan Orde Baru. Sejak itu represi dijalankan secara lebih sistematis. 
Kedatangan Ketua IGGI JP Pronk akhir 1973 dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Kumulasi dari aktivitas itu akhirnya mencapai klimaksnya dengan kedatangan PM Jepang Tanaka Januari 1974 yang disertai bukan saja demonstrasi, melainkan juga kerusuhan. Setelah berakhirnya Peristiwa Malari, untuk selanjutnya tidak ada lagi demonstrasi yang besar anti-Jepang. Meskipun dalam 3,5 tahun pendudukan Jepang di Indonesia masih terdapat kesan tentang kekejaman yang dilakukan tentara Jepang yang tidak segan, misalnya, menempeleng orang yang tidak mengikuti perintah mereka. Namun di sisi lain hal itu oleh sebagian masyarakat diterima sebagai suatu sikap penegakan disiplin. Pemerintah berupaya keras agar citra Jepang yang tidak jarang kasar selama masa pendudukan itu tidak sampai menyelusup ke dalam pikiran orang Indonesia. Oleh sebab itu, Departemen Penerangan era Orde Baru langsung melarang pembuatan film Romusa. Alhasil, sampai sekarang--tanpa sentimen antimodal asing--kita masih bisa menikmati fasilitas yang diberikan mobil-mobil dan sepeda motor Jepang dan barang produksi lainnya.
 Unjuk rasa tersebut menjadi puncak demonstrasi kaum muda sejak pertengahan tahun 1973 yang menuntut pembubaran lembaga Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan Asisten Presiden (Aspri), dua lembaga ekstra konstitusional yang dianggap memiliki kekuasaan luar biasa besar. Tuntutan lainnya adalah mengkritik korupsi di Pertamina dan memprotes pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). 
Demonstrasi akhirnya pecah menjadi kerusuhan massa. Beberapa wilayah di Jakarta terjadi pembakaran dan penjarahan massal, seperti di Proyek Senen, pabrik Coca Cola, showroom Toyota Astra, dan sejumlah tempat lainnya. Sedikitnya sebelas orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 bangunan rusak. Sebanyak 160 kg emas hilang dari sejumlah toko perhiasan. Kobaran api dan gumpalan asap terlihat di beberapa wilayah ibu kota. Aparat keamanan praktis baru mampu mengendalikan keadaan sekitar waktu magrib dan pemerintah segera memberlakukan jam malam. Sirene ambulans dan bunyi rentetan peluru petugas keamanan masih terdengar kencang sampai hampir tengah malam. 
Keesokan harinya, Ketua Dewan Mahasiswa UI Hariman Siregar ditangkap Kopkamtib, diikuti gelombang penangkapan yang mencapai ratusan orang. Namun, hanya tiga aktivis yang dihadapkan ke meja hijau, yaitu Hariman Siregar, Syahrir, dan Aini Chalid, dengan dakwaan melakukan makar melawan pemerintah. Mereka divonis bersalah sehingga harus menjalani masa tahanan selama dua sampai empat tahun. Sementara, puluhan tokoh lainnya, seperti Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dan Fahmi Idris ditahan tanpa pengadilan selama satu hingga dua tahun. 
Keadaan berangsur-angsur kembali menjadi normal pada tanggal 17 dan 18 Januari 1974 dan aturan jam malam pun dikurangi. Situasi keamanan yang belum sepenuhnya pulih menyebabkan keberangkatan PM Jepang pada 17 Januari 1974 pukul 08.00 dari istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara Halim Perdanakusuma. 
Akibat Peristiwa Malari, Presiden Soeharto memberhentikan Jenderal Soemitro sebagai Panglima Kopkamtib dan kemudian langsung mengambil alih jabatan itu. Jabatan Asisten Pribadi dibubarkan. Kepala Bakin Soetopo Juwono digantikan oleh Yoga Sugama. Peristiwa Malari merupakan sekelumit peristiwa yang menggambarkan gerakan masyarakat Indonesia dalam menyampaikan suara hatinya. Berbagai sudut pandang dapat digunakan untuk melihat peristiwa itu. Arsip Nasional RI sebagai lembaga negara yang memiliki tugas dan tanggung jawab di bidang kearsipan secara nasional juga menyimpan khasanah arsip mengenai Peristiwa Malari dalam bentuk film/video. Khasanah arsip itu setidaknya dapat menjadi bahan kajian untuk mengungkapkan Peristiwa Malari secara lebih komprehensif.
Dalam sejarah Indonesia, nasionalisme ekonomi bisa ditelusuri kepada nasionalisasi perusahaan asing, terutama Belanda setelah penyerahan kedaulatan Desember 1949 dan pelarangan pedagang asing (WNA China) untuk berusaha di pedesaan. Pada era Orde Baru memang ada upaya untuk menggalakkan produksi dalam negeri. Nasionalisme ekonomi ini mencuat kembali dengan upaya yang dilakukan pemerintah pada era reformasi untuk melakukan privatisasi sejumlah badan usaha milik negara (BUMN). Pada masa lampau memang perusahaan-perusahaan tersebut boleh dikatakan semacam 'sapi perah' dari departemen teknis. Privatisasi dan nasionalisasi merupakan sesuatu yang lumrah dalam proses pembangunan ekonomi suatu negara. Hanya saja perlu kriteria yang jelas. Perusahaan yang memenuhi hajat orang banyak, strategis dan secara historis terkait dengan perjuangan bangsa, seyogianya tidak masuk dalam daftar privatisasi. 

Malari merupakan catatan hitam negeri ini. Tidak tertampungnya aspirasi masyarakat pada saat itu adalah menjadi salah satu penyebabnya. Keputusan yang diambil terhadap para demonstran pada waktu itu juga telah membuktikan kearoganan pemimpin negeri

 
 
 
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Marxism : The Root of Comunism, HISTORY SUBJECT FOR DJUWITA SENIOR HIGHSCHOOL Tanjungpinang - Petra Wahyu Utama

Semarang dan Kisah Tentang Congyang

SHINTA, DISKOTEK PERTAMA DI SEMARANG