Review Buku Shallow Water, Rising
Tide: Shipping and Trade in Java around 1775
Karya Gerrit J Knaap
Karya Gerrit J Knaap
Oleh: Petra Wahyu Utama (Alumnus Strata 1 Ilmu Sejarah UNDIP Angkatan 2006 dan Pascasarjana Ilmu Sejarah UNDIP Angkatan 2017)
Buku ini berisi 4 Part yang terdiri dari 15 Chapter.
Buku ini berisi 4 Part yang terdiri dari 15 Chapter.
Buat adik-adik semua yang males baca bukunya dan dapat tugas untuk mereview!
Chapter I
Pendahuluan,
pertama-tama penulis memaparkan secara singkat tentang garis besar kajian
penelitian maritime yang dilakukan. Dimana perdagangan maritim di Jawa pada
masa 1775 melibatkan 15 penting dan
puluhan ribu kapal dengan berbagai jenis dan bentuknya berlalu-lalang di
perairan Laut Jawa. Hingga kondisional perdagangan maritim ketika VOC melakukan
determinasinya di Pulau Jawa.
Chapter II
“The Economic Policy of
the VOC”
Tujuan VOC sejak saat pendiriannya di Republik Belanda
pada tahun 1602 adalah memperoleh produk dari Asia yang dapat dijual dengan
keuntungan yang besar di pasar Eropa. Untuk mengurangi biaya pengadaan komoditas, serta
untuk memastikan keuntungan di Eropa, VOC mencoba membangun monopoli di
Indonesia.
Kemudia VOC mengambil
langkah untuk menyesuaikan
kembali arus barang di sepanjang kawasan perdagangan
lewat garis politik daripada membeli
di pasar bebas. Dengan demikian, metode politik dan militer sering digunakan
mewujudkan tujuan ekonomi mereka.
Dalam
perusahaan dagangnya, VOC memiliki sistem kepemilikan saham yang dimiliki oleh
orang-orang Belanda. Para pemegang
saham tidak hanya menginvestasikan armada kapal laut
yang memiliki Bendera, tapi juga di
benteng besar dan kecil dan di pos perdagangan yang membentang dari Tanjung
Harapan hingga ke Jepang dan dari Maluku Utara hingga
ke pantai barat India. Ribuan karyawan VOC harus dipelihara dan mereka
wajib dilengkapi dengan senjata dan
amunisi
untuk bertahan hidup selama pelayaran dilakukan.
Ketika
ekspor logam mulia
merupakan bisnis yang mahal
di kawasan Eropa. Pada
tahun 1620, VOC mengirimkan Gubernur
Jenderal Jan Pietersz Coen di Indonesia, yang ditugaskan mengembangkan VOC dan berpartisipasi dalam jaringan perdagangan Asia
tidak hanya dalam hal logam mulia namun dalam mengembangkan berbagai komoditas untuk mendapatkan keuntungan dagang di
pasar Eropa.
Dalam hal ini rempah-rempah seperti cengkeh, pala, lada dan kayu manis adalah komoditi penting yang harus
dikembangkan oleh VOC.
Seiring berjalannya waktu VOC
berhasil mewujudkannya dengan mencengkeramkan posisi monopoli lewat jalan penaklukkan penguasa lokal. Sekitar tahun 1775, VOC telah membeli lebih dari separuh dari
hasil komoditi lada hitam, VOC
berhasil membeli dengan mengeluarkan hampir 3 juta pound dan mendapat sekitar 24 ribu pikul. Di kawasan Jawa Banten adalah penghasil lada yang berhasil
di monopoli. Sebagian besar lada
lainnya yang
berhasil didapatkan berasal dari
Palembang.
Kemudian Jawa
menjadi
daerah penting yang sangat kental dalam cerita perkebunan Kopi. Produk ini diperkenalkan ke masyarakat
di Jawa Barat pada awal abad kedelapan belas.
Komoditi Kopi ini menjadi kisah sukses bagi VOC dalam perdagangannya dan kisah
tragis bagi penduduk asli di
dataran tinggi Priangan yang dijadikan sumber eksploitasi.
Namun karena produksi kopi
skala besar terdapat di Yaman dan Karibia, VOC tidak pernah bisa melakukan monopoli di perdagangan dunia. Lalu pada fase ini, Indonesia kemudian
menjadi tempat tujuan masuknya imigran dari Cina.
Pada
awal penjelajahannya VOC biasanya memasuki pusat perdagangan dengan membawa koin perak, pada saat itu perak diterima sebagai alat pembayaran dalam transaksi
internasional. Di Jawa sendiri, orang-orang pada saat itu menggunakan pici, koin kecil yang terbuat dari timah dan
timbal, kemudian
kepeng dimana berbentuk koin kecil yang terbuat dari
tembaga yang banyak digunakan
untuk alat
transaksi di pasar lokal. Kemudian
dikenal dengan koin yang dikenal dengan nama Pici, sama-sama terbuat dari
tembaga namun koin ini lebih rentan dan rapuh menyebabkan. Koin Pici pernah
menyebabkan ketidakstabilan kondisi
keuangan pada saat itu, hal ini diakibatkan
oleh pasokan koin pici yang tidak teratur dari China, dimana pici dicetak
dalam skala besar.
Setelah tahun 1740, ketika VOC telah sepenuhnya
mengambil alih kekuasaan politik di seluruh pantai utara
Jawa, secara bertahap mulai menghapuskan Pici sebagai alat jual beli.
VOC
kemudian memilih Batavia sebagai tempat prioritas utama dari organisasi VOC
dalam menjalankan bisnisnya. Batavia
kemudian
mulai diperlengkapi dengan
amunisi,
senjata, peralatan, bahan makanan dan bangunan yang
didatangkan dari seluruh Asia.
Terminologi VOC mulai memainkan peran penting setelah tahun 1680
ketika VOC mulai
mendominasi keterlibatan dalam
urusan pemerintahan
di wilayah Mataram. Mereka
mulai membuat ketentuan-ketentuan
tentang monopoli
perdagangan dimana semua produksi yang dihasilkan harus diserahkan ke VOC. Para penguasa distrik hingga bupati masing-masing
diwajibkan untuk menyerahkan suatu pajak tertentu kepada VOC.
VOC
kemudian menerapkan kebijakan dengan
membuat kartu Pass
(kartu ijin dagang) untuk
mengendalikan arus masuk dan pengiriman barang. Hal ini
dilakukan karena VOC telah mendapatkan hak penuh atas
monopoli pada banyak komoditas tertentu, sebagai contoh
adalah komoditi rempah-rempah dan
penjualan tekstil India.
Batavia dalam perdagangan kapal Jung Asia Tenggara, dimulai setelah tahun 1740. Kapal
Jung sendiri adalah kapal khas yang banyak dipakai oleh pelaut-pelaut di Asia
Tenggara untuk berdagang dimana kapal Jung memiliki bentuk seperti perahu bercadik
dimana lambung perahu dibentuk sebagai penyambung papan-papan pada lunas kapal
yang kemudian disambungkan pada pasak kayu tanpa menggunakan kerangka, baut,
atau paku besi. Ujung haluan dan buritan kapal berbentuk lancip. Pada tahun 1770-an hanya ada 5 kapal Jung
yang rata-rata mengunjungi Batavia setiap tahun hal
ini adalah penurunan yang sangat signifikan karena pada tahun 1730-an ini hampir empat kali lipat jumlahnya.
Alasan turunnya intensitas ini kemudian
dipelajari oleh VOC yang kemudian mereka melakukan restrukturisasi jaringan mereka pada perdagangan di Asia Tenggara. Dari tahun 1750 dan seterusnya, Pemerintahan
Tinggi VOC mencoba untuk mengarahkan semua perdagangan dari
wilayah Asia ke pelabuhan-pelabuhan
di Jawa. Kebijakan ini
hanya mencapai beberapa keberhasilan namun kecil karena nampaknya hanya Batavia merupakan satu-satunya pelabuhan di
Jawa yang banyak dikunjungi kapal Jung.
VOC
kemudian menyebarkan petugas-petugas pajaknya di pelabuhan-pelabuhan yang
tersebar di sepanjang pantai Utara Jawa. Petugas Pajak sangat penting karena
dari merekalah VOC mendapatkan
banyak keuntungan dari perdagangan, namun pada realitanya petugas pajak yang dipersenjatai ini
banyak melakukan tindakan kasar, tindakan mereka acapkali menelan korban jiwa.
Chapter 3
-Appearance Of The Port
(Bentuk/Penampilan dari Pelabuhan)-
Pelabuhan
pada abad 18 di Jawa sangatlah jauh dari kata emporia, bentuk pelabuhan masih sangat
sederhana sangat berbeda dari
yang kita sebut sebagai pelabuhan pada saat ini. Pada saat itu sebuah pelabuhan tidak lebih dari sebuah jalan setapak
yang terbuka, yang terletak di teluk terbaik atau terletak di mulut sungai.
Sejak tahun 1740-an beberapa dermaga telah terhubung dengan sebuah sungai
atau teluk yang telah dibangun pertahanan
sehingga membentuk sebuah, “Kastil Air”. Perahu yang lebih kecil bisa memasuki kanal pelabuhan dengan bantuan kapal
derek, yang siap meluncur di sepanjang dermaga.
Pada tahun 1770
kebanyakan
pelabuhan telah mencapai
panjang
kedalaman 460 fathom sekitar
865 meter, Fathom sendiri adalah unit pengukuran panjang dan
kedalaman pada masa imperial, 1 Fathom panjangnya sama dengan 1.8288 meter atau
6 kaki.
Pada
abad kedelapan belas di Jawa terdapat
2 Kota pelabuhan, yang
dilengkapi dengan tembok kota,
kedua tempat ini adalah Batavia dan Semarang. Pada abad ketujuh belas Surabaya, Banten dan Jepara pernah
memiliki tembok kota, tapi telah dibongkar. Personel VOC tinggal di dalam tembok kota batavia bersama
keluarga dan budak mereka. Selanjutnya, Burger Belanda, Mestizos dan semua jenis orang Kristen
Asia, biasanya diberi label 'Mardijkers' juga tinggal di sana. Pelabuhan
dengan system ini sangat berperan bagi jaringan di pasar
lokal.
Kota-kota pelabuhan asia tenggara tidak hanya berpusat
pada aktivitas ekonomi tapi juga pusat kekuatan politik. Di batavia, Gubernur
Jenderal dan dewan Hindia berada disana, mereka terlindung di dalam “Kastil Batavia”, yang terletak di tepi timur kanal pelabuhan. Transportasi
dan perdagangan maritim diawasi ketat oleh pejabat VOC.
Penguasa pribumi dikenakan pajak atas perdagangan lokal di pasar dan wajib
menyewakan tanah desa untuk produksi beras, kayu dan garam.
Sebagai contoh kebijakan di Semarang
dimana terdapat peraturan, dimana
kapal yang masuk dari Sulawesi, Kalimantan dan Selat Malaka diperiksa secara ketat oleh
kapala pelabuhan atau
komisaris VOC. Kemudian Pengawas “Boom” berlaku
sebagai pemungut pajak untuk bea
masuk dan bea ekspor. Boom sendiri adalah struktur rangka alat berat
(crane) atau balok pengendali layar perahu (horisontal) yang terletak di bawah
tiang layar (vertikal).
Maka
dapat disimpulkan bahwa hanya sebagian lalu lintas maritim yang
benar-benar diperiksa oleh petugas yang bertanggung jawab atas kapal-kapal yang
aktif pada rute perdagangan. Inspeksi
hanya terjadi apabila
ada kecurigaan bahwa sebuah kapal membawa barang selundupan.
Namun, peraturan ini bisa diantisipasi
oleh nahkoda ketika mereka bisa bermain dengan petugas pelabuhan, maka angkutan
dagang mereka yang melebihi kapasitas bisa lolos dengan pajak rendah.
Chapter IV
-Ship and Arms-
Di abad 18 Jawa mengenal berbagai jenis kapal. Arsip VOC
sendiri menyajikan data tentang kapal yang dibangun untuk VOC sendiri di
galangan kapal. VOC membangun kapal yang relatif lebih besar dibandingkan dengan kapal yang
dipakai oleh perusahaan swasta lainnya. Jenis-jenis kapal yang sering berlayar
di perairan jawa adalah :
1.
Jukong dan paduwang. Jukong
memiliki satu segitiga, penyeimbang dan layar sedangkan Paduwang juga memiliki layar kecil di busurnya, menyerupai
semacam pengatur layar. Paduwang sedikit lebih besar dari pada jukong.
2.
Sampan
adalah perahu kecil yang banyak digunakan orang-orang Cina. Kapal kecil sehingga mudah ditangani, kapal ini banyak digunakan untuk tujuan lokal.
3.
Cunea
pada awalnya juga jenis kapal yang banyak dipakai oleh orang-orang Cina, kapal ini memiliki sebuah tegakan lurus dan busur yang relatif miring sehingga tidak terlalu sulit untuk melakukan mobilitas pada saat orang
berada di dalam kapal.
4.
Mayang
ini berasal dari payang, semacam drag net, kapal juga digunakan dalam transportasi laut. Mayang itu rata,
perahu terbuat
dari papan dan karena distribusi
bobot popandernya yang cukup besar, maka kondisi perahu ini
tidak pernah ada yang sangat stabil.
5.
Gonting
biasanya disebut sebagai mayang mayang yang lebih besar, minus busur melengkung
dan buritan.
6.
Pancalang berasal dari daerah Melayu di
sekitar selat Malaka. Itu adalah kapal planked, biasanya dengan tiang tunggal
yang membawa layar persegi panjang, dek dan tutup menetas permanen, yang
terbuat dari tikar untuk melindungi barang di pegangannya.
7.
Paduwang tipe kapal dari Sulawesi. Kapal
ini ditandai dengan buritan tinggi namun memiliki busur yang relatif rendah,
sehingga kapal ini sulit untuk ditangani dalam cuaca buruk. Kapal yang relatif
kecil setidaknya memiliki satu dek, yang lebih besar memiliki dua dek.
8.
Chialoup, adalah kapal yang memiliki
satu tiang di depan dan belakang, kapal ini terkadang ditambahkan Mizzenmast dan memiliki satu dek.
9.
Brigantine banyak dibangun di galangan
kapal di Asia. Di Indonesia kapal ini banyak dibuat di Rembang dan Juwana. Kapal
ini terbuat dari kayu, Brigantine di satu dengan Canon bergaya Europan, memiliki
lambung kapal besar dan memiliki satu atau dua dek.
10.
Wangkang, kapal dari Cina berukuran
kecil kapal ini dilengkapi dengan busur yang tinggi, memiliki panjang sekitar
100 kaki dan memiliki lebar sekitar 20 kaki. Mereka memiliki satu dek dan dua
atau tiga tiang dengan layar berpancang pada ruas horisontal.
11.
Lalu ada kategori terakhir adalah kapal
yang disebut oleh orang-orang Belanda dengan sebutan 'Scheepje' atau 'kapal
kecil', kapal-kapal itu mencapai sekitar 125 kaki dan panjang balok
penyangganya kira-kira sekitar 25 kaki.
Pada akhir abad kedelapan belas dan kesembilan belas,
nampak bahwa armada pedagang yang aktif di perairan pantai Jawa menginvestasikan banyak uangnya untuk senjata, karena sekitar 90% .
Ini adalah respon terhadap bahaya perompakan yang banyak terjadi pada masa
itu. Kapal bajak laut pada
tidak secara khusus dilengkapi dengan artileri
namun memiliki awak kapal yang tangguh dan handal dalam pertarungan. Bajak melawan dengan pedang daripada melakukan duel senjata. Contoh
kapal yang dilengkapi dengan persenjataan lengkap adalah Briggantine, kapal yang membawa 8 meriam,
bila dibandingkan dengan Wangkang China dari amoy,
kapal ini lebih tangguh dalam pertempuran laut. Di sisi lain, jenis kapal-kapal Eropa lainnya yang tiba di Batavia rata-rata membawa 14 Cannon,
sementara awak kapal
dari kapal-kapal armada VOC
telah dilengkapi dengan 28 senapan besi. Standar armada pedagang jawa tentu saja lebih kecil dengan
spesimen artileri ringan yang terbuat dari perunggu,
pistol yang
digunakan di kapal terdiri dari beberapa
bedil
dan senapan biasa. Dari
catatan perhitungan yang
dididapatkan, perdagangan laut pada masa itu telah melibatkan lebih dari 5000 meriam, 6000 tombak dan 20.000 senapan
untuk melengkapi tentara yang yang ditempatkan di kapal-kapal
dagang.
Chapter V
-Volume, Destination
and Season-
Jumlah kapal yang bergerak di bawah naungan VOC
menunjukkan bahwa Batavia memang adalah pusat jaringan perdagangan. Sekitar 80% kapal asing
Eropa yang
masuk berlayar di bawah Bendera
Inggris, 15% menunjukkan warna Portugis dan 5% adalah orang Spanyol. Bagian VOC
dalam Volume pengiriman
di
15 pelabuhan yang terletak di jawa secara keseluruhan adalah hampir 52% dibanding kapal-kapal
lain. Ada tiga pelabuhan
dimana peran VOC melampaui tingkat 60%, yaitu Batavia, Tegal dan Jepara.
Batavia didirikan sebagai markas besar orang Belanda di Asia.
Rempah-rempah
yang menghasilkan
dari Maluku dapat diakses oleh pedagang swasta hanya setelah mendapat izin yang
dikeluarkan di Batavia. hampir 40% total koneksi VOC yang berada di Jawa. Dari jumlah tersebut kira-kira sepertiga bagian
terdapat Jawa Barat dan
sekitar dua pertiga di Pantai Timur Laut Jawa, termasuk Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Posisi Batavia diperkuat kuat dengan menjalin kerjasama
dibeberapa wilayah seperti Ambon dan Siam. Semarang sebagai pelabuhan besar
juga memiliki hubungan yang kuat
dengan pelabuhan di selat Melaka dan di Kalimantan. Para pedagang
tertarik untuk mengunjungi pelabuhan
Semarang karena komoditi beras dan garam yang
bisa didapat didapat dengan muda, produk ini sulit didapatkan di Batavia. Gresik dan Surabaya berada dalam posisi yang juga
kuat karena dua tempat ini memiliki
akses perdagangan dengan Bali dan Banjarmasin.
Beras
sebagai komoditi pangan yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur harus dengan cepat dikirim ke Batavia. Pengiriman dilakukan sebelum Muson Barat dimulai, yaitu selama pancaroba setelah musim
kemarau. Tidak ada banyak perbedaan antara Europans asing dan VOC dalam periode
aktivitas perdagangan beras mereka memaksimalkan perdagangan mereka pada bulan Juni. Tampaknya akhir musim dan pancaroba
berikutnya dianggap paling nyaman untuk perjalanan singkat ini.. Puncak kedua
dari keberangkatan untuk tujuan di jawa dapat disaksikan pada bulan Agustus dan
September dengan perjalanan pulang kembali terjadi pada bulan Oktober dan November.
Jelas bahwa kapal VOC yang
dipekerjakan di Jawa menghabiskan lebih banyak waktu di jalan daripada di laut.
Juga memperhitungkan durasi dan intesitas kapal dagang yang
menuju Batavia, sehingga
dapat ditarik kesimpulannya bahwa
sebuah kapal berlayar sekitar seperenam waktu.
Chapter VI
-Skippers and Crews-
Di
dalam kapal, profesi terpenting adalah Nakhoda karena seseorang dengan profesi ini harus sarat dengan pengalaman, mereka harus memiliki pengetahuan tentang beberapa landmark, pola angin dan arus
laut untuk menemukan jalan mereka dari satu daerah ke daerah lain. Di
dalam kapal mereka para pedagang biasanya juga budak yang digunakan untuk mobilitas
alur masuk dan keluarnya barang pada kapal. Kemudian Skippers biasanya direkrut dari jajaran rendah pada
birokrasi VOC.
Di kapal dagang VOC biasanya terdiri 51 orang Eropa yang memiliki latar belakang pekerjaan, kemudian 22 dengan latar belakang pelaut, 14 dari militer atau mantan tentara dan 8 birokrat administrasi. Komposisi awak kapal pribadi rata-rata biasanya sebagai
berikut kapten atau tuan yang disebut nahkoda atau juragan
berperan sebagi komando kapal,
Juru mudi yang bertugas memegang kemudi. Juru batu adalah orang yang bertanggung jawab atas
jangkar,
Pandega yang bertugas pada akomodasi Kapal.
Chapter VII
-Ownership and
Investement-
Kepemilikan
Kapal dan Investasi pada akhir
abad kedelapan belas dan kesembilan belas didominasi oleh VOC,
orang-orang Cina dan aristokrat lokal dimana mereka menguasai laju perekonomian
dan pasar ekspor impor. Di pelabuhan sendiri mereka memiliki keistimewaan
dimana mereka memiliki ijin khusus. Kapal-kapal yang mereka miliki sudah dilengkapi
persenjataan berupa canon, senapan dan tombak dan tentara mereka selalu siaga
dalam setiap pengawalan niaga yang dijalankan. Selain kapal-kapal dagang VOC,
mereka wajib memberikan setoran kepada VOC dimana jumlah dan besarannya sudah
ditentukan oleh VOC
Chapter VIII
-Trade in Around
Batavia-
Batavia
menjadi daerah terbesar bagi perdagangan dan daerah terpenting sebagai tempat
pemenuhan kebutuhan bagi konsumen. Batavia adalah tempat dimana orang-orang
banyak membutuhkan gambir, padi dan tembakau dari jawa. Pada tahun 1745,
Batavia menjadi daerah yang semakin ramai ketika VOC mengembangkan perdagangan
opium. Batavia mendatangkan kapal besar dari Bengal yang khusus memuat opium
untuk memenuhi kebutuhan pasar. Selain opium, Batavia juga memproduksi Arak dan
Gula Halus yang kemudian di ekspor ke pasar internasional. Agar-agar, Tripang
dan garam juga adalah komiditi yang menguntungkan VOC. Untuk melancarkan hal
tersebut, VOC membutuhkan banyak pekerja dimana sebagian pekerja yang dipakai
adalah budak yang didatangkan dari berbagai daerah. Dalam fase ini lebih dari
1500 budak tercatat dipakai oleh VOC. Batavia juga menjadi tempat transit
terbesar dalam perdagangan maritim kala itu.
VOC
juga menjalankan pelayaran pendek dari Batavia-Banten, pelayaran pendek ini hanya
berfungsi sebagai pengangkutan dan penyaluran barang. Walaupun demikian, Banten
menjadi pelabuhan penting pada saat itu karena
Banten merupakan
pasar utama Batavia untuk re-ekspor barang produksi tertentu
koneksi perdagangan Banten memberi kita wawasan tentang
perdagangan yang mungkin bisa luput dari perhatian kita.
Chapter IX
-The Flow of goods east
of Batavia-
Dalam
bagian ini, kita bisa melihat perbandingan
umum antara impor dan ekspor yang memungkinkan kita untuk bisa menarik kesimpulan awal tentang keseimbangan perdagangan
antara Jawa Timur dan Batavia. Ini terutama dalam hal data yang
bisa menjadi bahan referensi bagi kita untuk meneliti intensitas perdagangan
yang terjadi dan bagaimana hubungan antara kedua wilayah ini, terlebih lagi untuk barang-barang manufaktur yang menjadi
komiditi dalam jumlah yang
cukup besar. Barang impor tidak dalam jumlah banyak, tapi tidak pernah
kalah penting adalah besi yang masuk ke Jawa dari Batavia. Barang impor yang paling berharga lainnya
adalah opium, biasanya diimpor ke Batavia. Selain itu bidang agricultural
juga menjadi komoditi dagang penting, yaitu budidaya di ladang yang sebagian besar tanamannya
adalah tanaman musiman.
Kemudian,
VOC pada tahun 1770an mulai mengimpor produk dari Cirebon dengan jenis yang
berbeda. Komoditas terpenting yang menjadi bahan impor VOC dari Cirebon adalah
Jerami yang digunakan sebagai bahan tas. Cirebon juga menjadi daerah pengekspor
kopi, kacang hijau, kapas, pinang dan gula. Daerah ini menjadi daerah kedua
setelah Jawa Timur yang menjadi pemasok kebutuhan pasar di Batavia. Belum lagi
dari sektor perminyakan, Jawa Timur dan Cirebon mengirimkan Kapal Kargo besar
ke Batavia.
Penguasa kabupaten hanya bisa mendapat
tambahan keuntungan jika mereka
berhasil memenuhi
proporsi beras yang dikirim bebas ke gudang-gudang VOC, artinya dengan cara 'perpajakan' yang
difungsikan sebagai hadiah
yang diberikan VOC kepada penguasa-penguasa lokal.
Chapter X
-Rice and Timber
Beras
adalah kebutuhan penting terutama sebagai bahan pangan yang dikonsumsi oleh
sebagian besar masyarakat di Asia Tenggara. Beras dari berbagai daerah
dikirimkan ke Batavia untuk memenuhi lumbung-lumbung VOC. Selain untuk memenuhi
kebutuhan pangan di Batavia, beras juga di ekspor ke luar daerah dari Malaka,
Palembang, Johor, Trengganu hingga ke Srilanka. Kapal-kapal dagang dari Negara
Cina juga mendominasi perdagangan beras, selain mereka mengambil komoditi ini
di Batavia, mereka juga mencarinya di kota-kota pelabuhan seperti Semarang,
Juwana Rembang, Tuban dan Banyuwangi. Beras menjadi sektor terpenting bagi
pertumbuhan kota dagang pada saat itu, kemudian VOC mengeluarkan aturan untuk membatasi
pengambilan bahan produksi beras kepada pedagang-pedagang lain. Monopoli
perdagangan beras hanya boleh dilakukan oleh VOC, mereka terus mengawasi situasi produksi
beras yang diusahakan oleh rakyat,
pertama-tama agar tidak
terjadi kelaparan
yang kedua agar surplus beras yang dihasilkan bisa digunakan untuk memenuhi
kebutuhan ekspor. Oleh karena itu,
jika ada bahaya kegagalan panen, misalnya karena pola cuaca tidak teratur,
administrator VOC setempat akan diperintahkan untuk menutup Sungai di Jawa menuju
Perdagangan Beras.
Kayu,
adalah komiditas yang juga penting di Jawa, VOC berkonsentrasi dalam
mengeksploitasi hutan sebagai pemasok kebutuhan kayu, Jawa Tengah menjadi objek
penting pemenuhan kebutuhan dari suplai kayu yang dibutuhkan oleh VOC. Di tahun
1777, VOC banyak menebang kayu di daerah Rembang, Pejangkungan dan Paloh. Sebagian
besar perdagangan kayu yang kemudian dikirim ke Batavia langsung ditangani oleh para nakhoda setempat.
Mereka memainkan
peran penting dalam pengiriman kayu ke Batavia.
Chapter XI
-Salt, Sugar, Tobacco and Cloth-
Garam
banyak diproduksi dibanyak tempat di sepanjang Pantai Utara Jawa, garam menjadi
distrik paling umum yang dijalankan dalam perdagangan maritime. Masyarakat
Maritim di Batavia juga mengerjakan garam sebagai penghasilan mereka namun
konsentrasi penghasil garam terbesar di Jawa terletak di Cirebon, Banten,
Rembang, Gresik, Surabaya, Bangkalan, Pamekasan dan Sumenep. Di tempat-tempat
tersebut orang-orang Cina memiliki kontrol yang dominan dalam permainan bisnis
garam di Pulau Jawa.. Karena
Perdagangan garam diarahkan terutama ke wilayah luar negeri, maka mereka merasa aman untuk menyuruh nakhoda mereka memuat kapalnya Di Rembang atau di beberapa distrik di
Madura.
Pebisnis garam tidak perlu
repot-repot untuk mendapatkan izin (pass)
laut dari mulai masuk sampai mereka pergi dari Perairan pesisir Jawa. Dibandingkan dengan VOC pasar swasta yang
berada ditingkat bawah
harus memiliki surat khusus
untuk mendapatkan garam dalam keadaan istimewa tapi
dengan harga beli yang
lebih rendah.
Dalam perdagangan gula, didalam
pasar terdapat 2 jenis komiditi yakni tebu dan gula yang sudah diolah. Apabila
pedagang membeli tebu yang belum diolah maka harga yang diperoleh akan lebih
rendah. Tebu diambil dari petani kemudian dikapalkan untuk diolah dilain
tempat. Namun apabila ingin membeli tebu yang sudah diolah menjadi gula maka
diperlukan waktu yang sedikit lebih lama karena harus menunggu hingga proses
pengolahan berakhir. Komoditas gula yang menjadi tren di tahun 1779,
menyebabkan VOC harus membuka lahan dan mendirikan pabrik tebu di sekitar
wilayah Cirebon, Semarang, Gresik dan
Surabaya. Perdagangan gula banyak diarahkan sebagai komoditas ekspor yang
banyak dikirimkan ke jalur perdagangan di Malaka, Kalimantan dan sebagian
daerah di kawasan Timur. Kemudian untuk perdagangan tembakau di Jawa, VOC
mengkonsentrasikan pengiriman komoditas ini di Pelabuhan Semarang dan
Pekalongan untuk diekspor ke luar daerah. Karena kedua jenis tanaman ini adalah
tanaman musiman maka para pelaut yang membawa kapal yang bermuatan gula atau
tembakau harus memperhatikan musim dan cuaca. Biasanya pengangkutan dilakukan
di musim panas atau menjelang pancaroba kira-kira dibulan Agustus dan November.
Pakaian juga menjadi komoditi
penting bagi kebutuhan ekspor pada saat itu, terutama bahan baku pembuatan
pakaian yakni kapas. Selain di Pelabuhan Batavia dan Banten, VOC juga
menggunakan Pelabuhan di Semarang dan Surabaya sebagai sarana utama pengiriman
barang ke luar daerah. Kapas banyak dikirim ke wilayah Malaka, Srilanka hingga India
yang notabene adalah wilayah yang mengolah kapas menjadi pakaian jadi.
Chapter
XII
-Fiscal
Regulations Concerning Maritime Traffic-
Ramainya perdagangan di Asia
Tenggara khususnya Indonesia pada tahun 1770an menyebabkan banyaknya kapal yang berlalulalang
di kawasan perairan laut Jawa. Persaingan dagang antara negara Eropa semakin
meningkat. Inggris yang merupakan pesaing dagang VOC di Asia Tenggara telah
melakukan liberalisasi ekonomi maritim dengan menjadikan wilayah Singapura
sebagai daerah free trade yang
berdampak pada perkembangan pesat dalam bidang perdagangan laut. Untuk
mengatasi hal tersebut, Belanda kemudian memutuskan memilih meliberalisasi regulasi
kebijakan fiskal dengan membuka Batavia sebagai daerah free trade. Namun hal
itu hanya khusus untuk Batavia, pelabuhan-pelabuhan selain Batavia tetap
dikenakan pajak. Dari mulai tahun 1770, VOC terus melakukan perubahan
prosentase pajak dipelabuhan-pelabuhan selain Batavia. Setiap tahun pajak yang
dikenakan kepada pedagang-pedagang yang masuk di area pelabuhan terus
meningkat, begitu pula dengan pajak ekspor dan impor.
Chapter
XIII
-The
Evolution of Ships-
Pada awalnya armada dagang VOC tidak memiliki tujuan militer,
namun setelah perkembangan perdagangan maritim dan monopoli ekonomi yang
terjadi di Jawa. Armada VOC mulai berubah menjadi armada dagang yang
diperlengkapi dengan kekuatan militer. Armada kapal dibuat lebih besar dimana
dapat memuat banyak kru, kemudian ruangan yang digunakan untuk menyimpan makanan selama dua sampai tiga tahun,
kemudian ruang penyimpanan kargo
untuk sebagai penyimpanan produk berharga dan rentan seperti rempah-rempah.
Pada awal abad 18 dan selanjutnya, VOC memiliki fasilitas pembuatan kapal sendiri di
Belanda. Namun, selain mengendalikan pembangunan kapal sendiri, VOC juga membeli kapal untuk
modifikasi di kapal mereka sendiri di Galangan kapal yang dibuat oleh VOC
disepanjang pantai utara Jawa.
Pada awal abad ke-19 kebanyakan pembuat kapal di galangan bertanggung jawab penuh atas hasil akhir pada pembuatan kapal
dimana ia telah
memenuhi keinginan dan persyaratan yang
diajukan oleh pengguna,
namun metode pembuatan kapal dalam praktiknya di Belanda memungkinkan pihak-pihak terkait untuk
menerapkan perubahan selama proses pembuatan. Kapal-kapal pada saat itu dibuat sedikit
agak panjang, lebih kuat dan memiliki ekstra dek.
Chapter
XIV
-Development
of Maritime Traffic-
Kapal yang berlayar di sepanjang pantai utara Jawa sangat
dipengaruhi oleh angin darat dan laut. Selama Muson timur, sebuah kapal yang melakukan perjalanan dari
Batavia ke Surabaya harus memanfaatkan segala kemungkinan.
Kebanyakan kapal meninggalkan
Batavia di malam hari pada saat angin timur laut berhembus dan membawa kapal tersebut ke garis lintang sekitar 5 ° 42
'S, dimana angin laut dapat mempercepat mereka meninggalkan
pelabuhan. Lalu
dengan mengikuti angin darat, kapal
akan mencapai daerah Karang di Cirebon. Setelah itu, kapal harus menjaga setidaknya 10 mil
dari pantai untuk menghindari Batu Karang di Pemalang dan Korowelang serta terumbu
karang sampai mendekati Semarang.
Setelah melewati Semarang, kapal bisa menggunakan angin laut untuk sampai ke
Surabaya.
Sejalan dengan meningkatnya persaingan di antara
orang-orang Inggris, Belanda
dan masyarakat setempat, VOC melangkah untuk mengendalikan jaringan perdagangan
dan area produksi di nusantara. Belanda mengendalikan lalu lintas pengiriman di Selat
Malaka dan Sunda, mereka memperkuat Batavia (untuk Selat Sunda) dan Malaka (untuk Selat
Malaka) sebagai gerbang utama jalur perdagangan dan juga Kepulauan Maluku sebagai Produsen utama
rempah-rempah.
Chapter
XV
-Conclusion-
Dalam buku ini tercatat
bahwa terdapat lima belas
pelabuhan utama di Jawa sekitar tahun 1775 yang sangat berperan
dalam perdagangan dan pelayaran.
Dalam buku ini juga disebutkan bahwa, terdapat lebih dari 20.000 pergerakan kapal
yang berperan dalam proses perdagangan. Buku ini juga menganalisis tentang lalu lintas di perairan dangkal di sepanjang pantai Jawa,
hingga pasang surut perdagangan
dan pelayaran pasca kehadiran VOC
Belanda di Jawa.
Hal penting yang dapat kita ketahui dari
buku ini meliputi:
1.
Pelabuhan di Jawa jaman awal dimana pada
mulanya hanyalah muara sungai atau pangkalan laut yang terbuka. Apabila
terdapat Kapal dagang yang lebih besar yang akan berlabuh maka terpaksa harus
bersauh di pangkalan yang lebih luas dan penumpang berserta barang muatan harus menaiki
tongkang atau kapal kecil untuk mendarat di pelabuhannya.
2.
Kota-kota pelabuhan yang terdapat di kawasan air yang
lebih dangkal ini terdiri daripada gugusan yang kemudian seiring dengan berjalannya waktu membentuk
perkampungan. Kota pelabuhan ini yang berkembang ini banyak ditempati oleh
orang-orang non-pribumi (Jawa) yakni pelaut dan pedagang yang berasal dari
Cina, India, melayu, sulawesi dan sebagainya.
3.
Kota-kota pelabuhan ini kemudian berkembang menjadi pusat
aktivitas ekonomi. Aktivitas import dan ekspor telah banyak terjadi pada masa itu.
Pelabuhan kemudian semakin diperbaik dengan dibangunnya jalan-jalan kecil yang menghubungkan dengan
aliran sungai sehingga memudahkan pengangkutan.
4.
Pada tahun 1619 Verenigde Oost-Indiesche Compagnie (VOC) menaklukan Sunda
Kelapa dan mendirikan kekuasaannya yang kemudian mengubah Sunda Kelapa menjadi
Batavia. Pada tahun 1680 VOC meluaskan
kuasanya di kawasan pantai utara Java. Ekspansi dan
perjanjian-perjanjian politik dilakukan sehingga menjelang tahun 1750, VOC
mampu menguasai sebagian besar wilayah di Jawa.
5.
Pada
tahun 1770-an muncullah juragan-juragan yang mendominasi jalannya perekonomian
di pelabuhan. Kemudian pada masa tersebut mulai dikenal 2 jenis penggolongan
birokrat yakni Syahbandar yang berisi orang-orang dari Golongan Eropa dan
Golongan Pribumi yang dijadikan centeng, tukang pukul serta penjaga keamanan.
6. Syahbandar memiliki tanggung jawab untuk mengawal dan
mengeluarkan pas laut, mengawalan keselamatan dari para pedagang dan mengutip
cukai di pelabuhan. Syahbandar juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan
bahwa tidak ada barang dagangan yang terlarang atau yang diselundupkan pada
saat proses perdagangan berlangsung di pelabuhan.
7. Selama
kegiatan perekonomian di pelabuhan berlangsung, banyak terlihat pemungut cukai
(Tax-Farmer) menarik pajak terhadap pelaku kegiatan ekonomi di pelabuhan.
Mereka bekerja atas wewenang yang telah diberikan oleh VOC. Dalam praktek
kegiatan pemungutan cukai, terkadang terlihat beberapa bentuk pemaksaan yang
dilakukan oleh para pemungut cukai yang dikawal oleh centeng-centeng. Semua itu
dilakukan demi menambah pundi-pundi kas dari VOC itu sendiri.
8. Elemen terpenting
dari dasar ekonomi VOC yang diterapkan disebagian besar pelabuhan-pelabuhan di Jawa adalah dengan memonopoli hak perdagangan dan mengambil keuntungan lebih dari setengah
dari produk dan komoditas yang diperdagangkan terutama beras dan rempah-rempah.
9. Tercatat
terdapat 15 Pelabuhan di Jawa yang menjadi sentra perdagangan yang ramai pada
era tersebut. Pelabuhan-pelabuhan itu adalah Batavia, Banyuwangi, Pasuruan, Sumenep,
Bangkalan, Surabaya, Gresik, Rembang, Juwana, Jepara, Semarang, Pekalongan,
Tegal, Cirebon dan Banten.
10.
Persaingan dagang antar
Negara-negara Eropa terutama Inggris menyebabkan VOC mengembangkan kapal-kapal
dagang mereka dan mengatur lalu lintas perdagangan laut yang mereka kuasai
Komentar
Posting Komentar