Sejarah Sistem Pemerintahan Indonesia dalam Hegemoni Kekuasaan Negara
Sejarah
Sistem Pemerintahan Indonesia dalam Hegemoni Kekuasaan Negara
Sistem Pemerintahan sendiri dapat diartikan suatu tatanan utuh yang terdiri atas berbagai komponen pemerintahan yang bekerja saling bergantungan dan memengaruhi dalam mencapaian tujuan dan fungsi pemerintahan. Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, negara kita dituntut menjalankan kekuasaannya sendiri. Periode sistem pemerintahan Indonesia dibagai menjadi beberapa periode yakni:
- Pada periode 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949, kita menjalankan sistem pemerintahan yang menganut presidensial. Namun, seiring datangnya sekutu dan dicetuskannya Maklumat Wakil Presiden No.X tanggal 16 November 1945, terjadi pembagian kekuasaan dalam dua badan, yaitu kekuasaan legislatif dijalankan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan kekuasaan-kekuasaan lainnya masih tetap dipegang oleh presiden sampai tanggal 14 November 1945. Berdasarkan Maklumat Pemerintah 14 November 1945 ini, kekuasaan eksekutif yang semula dijalankan oleh presiden beralih ke tangan menteri sebagai konsekuensi dari dibentuknya sistem pemerintahan parlementer.[1]
- Pada periode 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950, bentuk negara Indonesia adalah serikat dengan sistem pemerintahan parlementer. Adanya Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Indonesia dengan delegasi Belanda menghasilkan keputusan pokok bahwa kerajaan Balanda mengakui kedaulatan Indonesia sepenuhnya tanpa syarat dan tidak dapat dicabut kembali kepada RIS selambat-lambatnya pada tanggal 30 Desember 1949. Dengan diteteapkannya konstitusi RIS, sistem pemerintahan yang digunakan adalah parlementer. Namun karena tidak seluruhnya diterapkan maka Sistem Pemerintahan saat itu disebut Parlementer Semu (Quasi Parlementer).[2]
- Pada periode 15 Agustus 1950 – 5 Juli 1959, Indonesia mengubah haluan kontitusi dari konstitusi RIS menjadi konstitusi berdasarkan UUDS 1950. Konstitusi ini kemudian berlaku sejak 17 Agustus 1950 hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih Konstituante secara demokratis, namun Konstituante yang terbentuk ini justru gagal membentuk konstitusi baru hingga berlarut-larut. Pada 5 Juli 1959 pukul 17.00, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang diumumkan dalam upacara resmi di Istana Merdeka.Isi dekrit presiden 5 Juli 1959 antara lain:
1. Kembali berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950
2. Pembubaran Konstituante
3. Pembentukan MPRS dan DPAS
Dikeluarkannya dekrit presiden ini menanadi perubahan sistem pemerintahan dari parlementer kembali ke presidensial.[3] Perubahan ini kemudian membawa bangsa Indonesia menuju fase yang dikenal dengan nama Orde Lama yang berlangsung sejak 5 Juli 1959 hingga 22 Februari 1966. Pada masa ini pemerintahan Indonesia mengenal dengan apa yang disebut dengan demokrasi terpimpin, dimana dimana seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpin negara, yaitu Presiden Soekarno. Sistem Pemerintahan Demokrasi Terpimpin pertama kali diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam pembukaan sidang konstituante pada tanggal 10 November 1956. Pada masa demokrasi terpimpin ini terjadi berbagai penyimpangan yang menimbulkan beberapa peristiwa besar di Indonesia. Puncaknya adalah peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang menyebabkan Soekarno lengser dari jabatannya sebagai presiden.[4]
Soeharto kemudian terpilih menjadi presiden menggantikan Soekarno yang menjadi awal munculnya fase yang dikenal dengan sebutan Orde Baru. Soeharto secara resmi diangkat sebagai presiden RI ke-2 pada 22 Februari 1967, melalui Ketetapan MPRS No. XV / MPRS / 1966 dan sidang istimewa MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) pada tanggal 7-12 Maret 1967. Selama perjalanan pemerintahan orde baru, Indonesia mengalami banyak kemajuan di berbagai bidang, terutama ekonomi. Zaman orde baru berhasil memperbaiki ekonomi Indonesia yang tidak stabil sejak masa kemerdekaan. Namun pemerintahan ini bukannya tanpa cela, prestasi dalam bidang ekonomi tersebut dibarengi dengan kebijakan politik yang otoriter. Kebijakan politik yang otoriter dalam arti bahwa kekuasaan presiden berada di atas UUD 1945. Selama 32 tahun kekuasaannya, Soeharto menjalankan tata kelola patronase atau bapakisme. Soeharto memberikan posisi-posisi penting dalam pemerintahan kepada lawan-lawan politiknya. Soeharto juga memberikan kesempatan bagi para pendukungnya untuk dapat melakukan bisnis yang menguntungkan. Hal ini kemudian menyebabkan banyaknya penyimpangan pada masa orde baru yaitu kekuasaan yang otoriter, kebijakan ekonomi yang terlalu berpihak pada asing, serta maraknya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang menjadi penyebab runtuhnya orde baru dan rasa ketidakpuasan masyarakat. Pada bulan Mei 1998, mahasiswa melakukan demonstrasi besar-besarnya yang menuntut turunnya Soeharto. Pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto membacakan pidato pengunduran dirinya, sehingga masa pemerintahan orde baru secara resmi berakhir dan digantikan dengan orde reformasi yang berlangsung hingga saat ini.[5]
Dari beberapa fase yang pernah berlangsung dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kita dapat melihat bahwa dalam tiap-tiap pemimpin berusaha untuk mempertahankan hegemoni kekuasaannya lewat upaya politik dan kebijakan yang dikeluarkan. Untuk melanggengkan kekuasaan, hegemoni digunakan sebagai alat untuk mengesahkan penguasa dari segala ketimpangan yang diakibatkan oleh kekuasaan itu. Hegemoni sendiri dapat diartikan sebagai bentuk penguasaan terhadap kelompok tertentu dengan menggunakan kepemimpinan intelektual dan moral secara konsensus. Artinya, kelompok-kelompok yang terhegemoni menyepakati nilai-nilai ideologis penguasa. Di Indonesia militer mempunyai peranan penting dalam sistem perpolitikan Indonesia. Baik pada masa kepemimpinan Soekarno terlebih pada saat kepemimpinan Satu alasan utamanya adalah karena militer selalu memiliki tempat dan kekuatan tersendiri dalam power interplay di Indonesia sehingga bisa mempengaruhi arah jalannya pengambilan keputusan di negeri ini.[6]
Pada masa pemerintahan Orde Baru, hegemoni begitu melekat kuat dan mengakar kuat kedalam sistem pemerintahan. 32 tahun berkuasa, Soeharto menggunakan kekuasaan untuk memaksa dan memonopoli aset yang dimiliki oleh negara. Puncaknya ketika tingkat kesadaran dan keberanian individual mulai tumbuh, masyarakat akhirnya bisa merasakan ketika mereka berbenturan dengan kekuasaan akan terlihat bahwa kondisi negara pada saat itu merupakan hubungan sosial yang bersifat sangat dominatif.[7]
Keadaan ini merupakan contoh konkret dari teori yang dikemukakan oleh Gramsci dimana hegemoni berhasil ketika kelas penguasa berhasil menyingkirkan kekuatan oposisi, dan memenangkan persetujuan baik aktif maupun pasif dari sekutunya. Menurut Gramsci subjek dari tindakan politik tidak dapat di identifikasikan dengan kelas-kelas sosial, semenjak mereka mencapai bentuk “keinginan kolektif, yang menciptakan ekspresi politik dari sistem hegemoni yang diciptakan melalui ideologi. Formasi dari sebuah keinginan kolektif bukanlah konsekuensi dari penekanan dari ideologi kelas dominan terhadap kelas-kelas lainya, melainkan produk dari reformasi moral dan intelektual yang mengartikulasikan kembali elemen-elemen ideologi.[8]
Jadi secara umum bisa dikatakan bahwa upaya hegemoni kekuasaan yang berkembang pada tiap sistem pemerintahan di Indonesia memiliki pola yang hampir sama yakni mengorganisir persetujuan dimana dalam proses tersebut dilakukan melalui bentuk-bentuk kesadaran yang tersubordinasi, dikonstruksi dengan baik sehingga penguasa ini tidak hanya beroperasi ditataran ruang politik (political society) tetapi juga diseluruh masyarakat (civil society).
Daftar Pustaka
Antoni Gramsci, “Selection From Prison Notebooks” dalam Nezar Patria dan Andi Arief, Antoni Gramsci Negara dan Hegemoni, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003.
Arief Budiman, Teori Negara, Negara Kekuasaan dan Ideologi, Jakarta: Gramedia, 1996.
Erman Anom, Ph.D, Pemerintah, Media dan Masyarakat di Indonesia, Universitas Esa Unggul, 2001.
Tim Penyusun, “30 Tahun Indonesia Merdeka 1945 - 1949 (Jilid 1)”. Jakarta: PT.Tira Pustaka, 1980.
Antoni Gramsci, “Selection From Prison Notebooks” dalam Nezar Patria dan Andi Arief, Antoni Gramsci Negara dan Hegemoni, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003.
Arief Budiman, Teori Negara, Negara Kekuasaan dan Ideologi, Jakarta: Gramedia, 1996.
Erman Anom, Ph.D, Pemerintah, Media dan Masyarakat di Indonesia, Universitas Esa Unggul, 2001.
Tim Penyusun, “30 Tahun Indonesia Merdeka 1945 - 1949 (Jilid 1)”. Jakarta: PT.Tira Pustaka, 1980.
Internet
http://sistempemerintahannegaraindonesia.blogspot.co.id/2014/06/sistem-pemerintahan indonesia-dari-masa.html
http://www.academia.edu/9672840/Makalah_Orde_Baru
http://sistempemerintahannegaraindonesia.blogspot.co.id/2014/06/sistem-pemerintahan indonesia-dari-masa.html
http://www.academia.edu/9672840/Makalah_Orde_Baru
[1]
http://bagusaraaf.blogspot.co.id/2012/03/tata-kenegaraan-indonesia-periode-18.html
[2]
Tim
Penyusun, “30 Tahun Indonesia Merdeka 1945 - 1949 (Jilid 1)”. Jakarta, 1980.
PT.Tira Pustaka, hal 12
[3]
http://sistempemerintahannegaraindonesia.blogspot.co.id/2014/06/sistem-pemerintahan-indonesia-dari-masa.html
[4] M. Sanusi.
“Kenangan Inspiratif Orde Lama & Orde Baru”. Jakarta: PT. Saufa ,2014, hal
20
[5]http://www.academia.edu/9672840/Makalah_Orde_Baru
[6]Arief
Budiman,Teori Negara, Negara Kekuasaan dan Ideologi,( Jakarta: Gramedia), 1996,
hlm. 99.
[7] Erman Anom,
Ph.D, “Pemerintah, Media dan Masyarakat di Indonesia”. Universitas Esa Unggul,
2001, hlm 32
[8] Antoni Gramsci,
“Selection From Prison Notebooks” dalam Nezar Patria dan Andi Arief, Antoni
Gramsci Negara dan Hegemoni, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 113.
Komentar
Posting Komentar